Lihat ke Halaman Asli

Trilogi Hati: Benci

Diperbarui: 19 Mei 2017   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aku pun semakin menyadari bahwa mencoba mencintai sesuatu yang dimulai dengan rasa benci adalah bagian yang tersulit”

Sisa-sisa rasa benci itu masih bisa kurasakan dengan jelas hingga saat ini. Meski sudah ribuan kali aku mencoba untuk menghapusnya, rasa itu seolah enggan untuk benar-benar pergi. Hilang, kembali, pergi, datang, begitu seterusnya, tak ada habis-habisnya.

Rasa benci itu akan makin kuat terasa bila aku bertatapan mata dengannya. Tatapan mata yang membuatku diliputi rasa benci. Tatapan mata yang membuat kebencianku makin tak bisa kukontrol. Tatapan mata milik seorang gadis cantik.

*****

Sepintas tak ada yang salah pada gadis itu. Dia tergolong gadis yang cantik, bahkan secantik rupa ibunya – si kembang desa. Dia juga gadis penurut yang tak banyak menuntut. Tapi, tetap saja aku begitu membencinya. Lebih tepatnya, aku membenci kehadirannya.

Aku tak menutup mata jika berulang kali gadis itu mencoba mengambil hatiku. Dia juga banyak melakukan hal-hal baik untukku. Jelas terlihat jika dia berusaha terlalu keras untuk menyenangkanku. Tapi aku tetap membutakan hatiku, seolah semua yang ia lakukan padaku tak berarti apa-apa.

Semua yang ia perbuat sebenarnya sekadar untuk menarik perhatianku. Bisa kulihat begitu besar keinginannya agar aku mengakui keberadaannya. Begitu besar pula harapannya agar aku ikhlas menerima kehadirannya. Tapi sebagai perempuan yang sudah dibutakan oleh rasa benci, sulit bagiku untuk benar-benar membuka hati menyambutnya.

Sebenarnya, aku tahu apa yang dia inginkan, bahkan aku jauh lebih tau daripada yang orang lain tahu. Meskipun ia tak pernah mengungkapkannya secara verbal, aku dapat menangkap dengan baik keinginan gadis itu hanya dengan menatap matanya. Itulah sebabnya, aku tak pernah suka melihat tatapan matanya. Tatapan mata yang membuatku luluh dan benci di saat yang bersamaan.

*****

Tak sedikit orang terdekatku yang memberiku banyak nasihat. Nasihat-nasihat itu hanya angin lalu bagiku, tak pernah benar-benar aku acuhkan. Sebab, semua nasihat itu seolah memojokkanku, nasihat yang mengharapkanku agar mau menerima gadis itu.

Mereka mungkin saja menganggapku sebagai perempuan yang paling keras kepala. Bahkan, tak sedikit yang menganggapku sebagai perempuan yang jahat. Bisa jadi, kedua orangtuaku juga diam-diam sepemikiran dengan mereka tentangku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline