Lihat ke Halaman Asli

El Sanoebari

Salah satu penulis antologi buku "Dari Pegunungan Karmel Hingga Lautan Hindia".

Jadilah Pahlawan Saat Kematianku

Diperbarui: 12 November 2022   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Akh, kau pasti tahu itu. Betapa sakit, perih hati ini seperti ditusuk sembilu. Dan aku tidak perlu lagi mencontohkannya padamu.

Pria itu telah meminangku sepuluh tahun yang lalu semenjak aku meninggalkan dunia putih abu-abu, dunia dimana aku beranjak remaja. Ayah telah menyetujuinya sebelum aku melihatnya. Bagi seorang remaja sepertiku, tak semudah itu menerima cinta hanya karena ayah. Tetapi aku telah terbiasa mendapat aturan yang memaksa aku untuk tunduk kepada ayah, itu bak ultimatum bagiku.

Aku tidak mengada-ada. Ayah terlalu protektif padaku. Ia melarangku berteman dengan pria bahkan ia melotot saat pria itu berpapasan denganku dan bertanya “apa kabar”? Salahkukah? Ia menghajarku dengan ranting kayu lamtoro saat aku ketahuan bermain kasti dengan anak-anak di kampung.

Ia melarangku menonton film layar tancap di desa. Katanya nanti aku dibawa lari oleh tukang ojeklah, pria nakallah, diculiklah. Ia harus tahu siapa pria yang mengunjungiku semalam, untuk apa, anak siapa, suku apa. Itu melelahkan memiliki ayah seperti itu.

Sampai akhirnya Gaspar, pria yang disetujui ayah, membawaku kerumah ayahnya setelah semua urusan dengan ayahku dan keluargaku selesai. Ia telah menjadi suamiku. Aku masih muda, belum sempat berpacaran tapi aku telah menikah. Tidur dengan pria. Mengejutkan. 

Aku terbiasa tidur dengan ibuku. Dengan kakakku yang cantik, berambut panjang, ia disukai banyak pria. Kami sering berbagi cerita, tentang pria idaman kami, dan tentang ayah. Ayah tentu tidak perduli dengan pria idaman. Aku tidak pernah tidur bersama ayah sejak kecil.

“Sudahlah, terima pria pilihan ayahmu. Kau tahu bagaimana kerasnya ayahmu?.” kata nenek menenangkan hatiku.

Sejak kecil, aku takut bertemu ayah, entah sungkan aku tidak tahu. Aku masih polos. Yang kutahu ayah berwajah pemarah yang membuat saudara-saudaraku beranjak hanya ketika ayah menatap kami dan menggaruk kepalanya.

Apakah menurutmu akan menimbulkan trauma? Tentu saja benar. Dua puluh tahun hidup bersama ayah. Aku dibayang-bayangi ketakutan yang tak terdeteksi. Ketika aku dan sepupu-sepupuku sepakat untuk ikut lomba tari di kota, ayah menanyaiku apa yang kami dapatkan dari tari. Ketika pria yang mencintaiku datang berkunjung ke rumah, ayah mengintimidasiku dengan berbagai pertanyaan yang membuatku akhirnya memutuskannya dengan alasan aku alergi dengan pria.

“Omong kosong” kata pria itu.

“Aku benar”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline