Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Di Pintu Puisi Aku Berdiri

Diperbarui: 16 Februari 2021   07:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pinterest

Seperti biasa, sekalipun kau tak ada, puisi tetap menjalankan aktivitasnya. Ia rajin mengabsen bulir-bulir embun yang berbaris rapi di punggung daun-daun. Tangkas menuang secangkir kopi untuk para pengelana yang singgah melepas lelah. Juga lihai menjumputi gulma di sepanjang pematang kebun cinta.

Di pintu puisi aku masih kerap berdiri. Meski aku tahu ia tak butuh seorang teman. Tapi aku selalu ingin bertandang ke rumahnya --- rumah yang sangat luas, yang halamannya dipagari pepohonan cemara tinggi, dan terasnya dialiri arus sungai sebatas mata kaki.

Puisi. Ia adalah tuan rumah yang melahirkan paradoks-paradoks keniscayaan. Yang tak menolak meski aku datang dengan beragam kekusutan. Yang tak segan mengajakku bercanda dengan aksara dan kata-kata piaraannya.

Seperti biasa. Pagi Ini aku kembali berdiri. Di depan pintu puisi. Dengan hati lelah. Dengan mata basah.

"Maaf, aku melintasi sungaimu tidak lagi dengan kakiku," ujarku malu-malu. Puisi pun mahfum. Direngkuhnya pundakku. Dituangkannya secangkir teh hangat beraroma Bunga Sepatu.

"Ah, kamu hanya sedang dikuasai rindu," puisi lirih menimpali. Seraya mengunciku ke dalam lemari besi.


***
Malang, 16 Februari 2021
Lilik Fatimah Azzahra




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline