Lihat ke Halaman Asli

Eko Nurwahyudin

Pembelajar hidup

Tamu dari Bawah Tanah

Diperbarui: 21 Juli 2020   12:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pribadi

Malam itu hujan lebat. Entah apa yang telah membuatku tersadar, aku mendapati ruangan yang tampak lebih luas, mungkin karena gelap gulita sebab pemadaman bergilir. Dalam kondisi sepertiga sadar, tanganku menggerayang mencari senter dan mencari buku fotokopi bersampul merah hati yang seingatku belum sempat aku tandai.

Tak berapa lama, kekasihku Rafika muncul membawa lampu teplok. Ia duduk di sampingku dengan posisi tidak tenang, lantas mulai membisik dekat sekali, sehingga aku dapat mendengar nafasnya dengan jelas daripada suara guntur maupun desau di luar. Bukan lantaran gelegar guntur maupun desau dedaunan lebih lemah daripada bisikannya, tetapi kekhawatirannya yang jarang ia perlihatkan (terlihat dari kedua tangannya yang ia bentuk layaknya tirai saat membisik) itu menguras perhatianku.

            "Sttttt!" pintanya cepat sebelum sempat aku bicara. "Kau dengar sayang, suara jendela kita sedang diketuk-ketuk barusan?" aku menggeleng. Ketika aku tersadar, suara ketuk pada jendela mungkin telah berhenti atau itu cuma alasannya agar aku berhenti membaca dan menemaninya.

Aku menyelidik ritme nafasnya. Adakah ketakutan ia sembunyikan? Ya, menjelang tahun politik desas-desus yang kudengar mengatakan bahwa ada beberapa kelompok yang hobinya menakut-nakuti seluruh kampung dengan "kebangkitan hantu-hantu masa lalu" -- hantu Bhut yang berasal dari manusia menurut kepercayaan Tiyang Pasek.

"Nah! Nah! Dengar itu! jendela kita diketuk-ketuk lagi sayang?!" ujar Rafika.

            "Itu pasti Ibu!" timpalku. "Kenapa kau tak membukakan pintu?" tanyaku heran. Sebelumnya, Ibu memang berkirim kabar hendak mengunjungi kami.

            "Bukan sayang. Bukan! Itu bukan Ibu!" sangkalnya.

            Kekhawatirannya yang tak biasa itu akhirnya menggoyang akal sehatku. Aku mulai membatin, siapa juga orang yang bertamu sangat larut begini? Apalagi sedang hujan lebat ditambah angin dan gulita pula? Kanapa orang itu tidak mengetuk pintu justru mengetuk jendela? Kenapa ia tidak berusaha memanggil-manggil? Digelayuti pertanyaan-pertanyaan yang terasa janggal ini, tiba-tiba mengingatkanku pada cerita kakek (sebenarnya cerita yang diriwayatkan kakek ini ia dengar dari Mbah Buyutnya) tentang Markayangan -- lelembut dari orang-orang yang hidupnya jahat, dan ketika orang jahat itu meninggal tidak dapat berpindah ke kelangitan sehingga jiwanya terpaksa berkeliaran di bumi. Dengan mantra-mantra tertentu manusia dapat memanfaatkannya untuk membalaskan dendam kepada musuhnya! Melemparkan batu pada rumah musuhnya, dan mengetuk-ngetuk pintu dan jendela rumah musuhnya!

            Aku bergidik. Kucoba memulihkan akal sehatku. Tidak. Tidak. Lelembut cuma warisan jaman penjajahan dan kerajaan! Kurasakan degup jantungku masih belum teratur. Tidak ada lelembut! Ah, pasti itu maling!" pikirku.

            Rafika sekonyong-konyong menarik tanganku.

            "Sebentar!" kataku. "Jangan dibuka! Itu pasti petrus!" perintahku yang membuat Rafika terdiam sejenak. Aku sendiri terdiam kebingungan, tidak mengerti apa yang aku katakan. Seolah-olah barusan bukan aku yang bicara!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline