Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tamu dari Bawah Tanah

21 Juli 2020   12:29 Diperbarui: 21 Juli 2020   12:36 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Aku ajak Rafika duduk kembali. Masih dilihatnya aku dengan tatapan yang aneh. Aku tidak dapat membalas tatapannya. Guna menghindari pertanyaan-pertanyaan lanjutan darinya yang tidak penting, kuarahkan pandanganku pada api yang meliuk pada lampu teplok -- Rafika hafal betul kalau aku sudah mengalihkan perhatian ia akan mencari pembicaraan lain.

            "Apakah kau sudah melihatnya langsung sayang? Kenapa kau meyakinkanku sesuatu yang belum kau buktikan? Kenapa kau mengira itu petrus?" tanyanya memburu seperti sedang menginterogasiku."Jangan menakutiku dengan cerita kekejaman negara sayangku. Semua itu sudah tuntas!" jawabnya yang sontak membuatku tercengang. Rasanya, ia seperti pribadi asing yang tidak aku kenal.

            "Bukan. Bukan. Itu bukan Ibu!" ujarku dengan maksud menyudahi. "Ibu tak mungkin mengetuk lewat jendela. Ia pasti mengetuk pintu kita sayang" imbuhku dengan alasan yang agaknya masuk akal.

Aku tidak mengatakan alasan lain semisal, "Itu bukan Ibu! Itu pasti maling!" Aku tak ingin membuatnya tambah khawatir. Lebih jauh, aku tidak ingin kami diteriaki OKB (Orang Kiri Baru) oleh seorang atau sekelompok maling tolol yang hendak merampok rumah kami justru lebih tertarik pada buku-buku fotokopian kami yang bersampul merah semisal, daripada tertarik menjarah uang atau barang berharga lainnya. Lebih jauh lagi, aku tidak ingin justru si maling diberi penghargaan sebagai pahlawan!

            Kutatap matanya yang masih memancarkan ketidakpercayaan. Tatapan itu, ah sialan! Ditatapnya balik aku begitu lama dengan tatapan seorang interogator membuatku muak! Astaga, kenapa dulu tidak kupilih perempuan tolol sebagai kekasihku? Ternyata, menyiksa dan ribet mempunyai kekasih seorang perempuan cerdas, pandai menyelidik, dan kerap mencurigai. Setiap kata harus ditata agar kedengaran masuk akal.

            "Percayalah sayang, itu bukan Ibu" ujarku meyakinkannya.

            Aku tidak berani menatap matanya. Arah tatapanku masih tetap pada lampu teplok di atas meja. Kuperhatikan nyala apinya mulai tak beraturan. Meliuk ke kanan dan ke kiri layaknya sedang menari atas kebingunganku.

            "Baiklah sayang," aku memberanikan. Aku bersiap membisik seperti yang ia lakukan. Aku tak berani menatapnya langsung. "Aku tak tahu harus mulai darimana, tetapi aku harus mengatakannya.Entah malam ini aku kerasukan kekuatan luar biasa yang membuatku takut," Rafika masih terdiam, menyimak kata perkata yang kuutarakan. "Tahukah kau apa yang membuatku tersadar tadi?" Rafika menggeleng. "Mataku,..."

            "Kenapa dengan matamu sayang?" sela Rafika.

            "Kurasa seeorang menekan mataku keras-keras. Sampai hampir copot. Mungkin ia hendak mencongkel mataku! Ya, mencongkel mataku dengan pisau, sendok, atau garpu.  Mungkin orang itu pergi mencarinya di dapur kita, tetapi kegelapan yang lebih gelap daripada malam biasanya ini menggagalkan usahanya. Tetapi, ia masih berambisi mencongkel mataku! Percayaah! Mataku masih terasa sakit. Perih."

            "Stttttt! Kau dengar sayang? Suara ketukan itu lagi!" potongnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun