Lihat ke Halaman Asli

Efrem Siregar

TERVERIFIKASI

Tu es magique

Demi Kemuliaan dan Tanah Air

Diperbarui: 28 November 2016   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini bukan salah Anda, bukan salah saya, tragedi ini adalah kesalahan kita bersama. Dahulu, tatkala bencana datang ke Indonesia, itulah bahasa pemerintah kita. Karenanya, orang-orang menjadi malu, ketimbang memanjangkan telunjuk ke hidung orang lain, lebih baiklah menunjuk diri sendiri. Lalu setelah menyadari aku bersalah, maka ada perasaan yang berkecamuk, tidak menentu, sampai akhirnya aku berserah diri. Padahal, pada sisi lain, aku sebenarnya tahu bahwa aku tidak terlibat atas musabab yang melahirkan bencana tadi. Aku tidak mengenal kau, tidak pernah menginjakkan kakiku di tanahmu. Siapakah aku sampai-sampai aku merasa perlu bertanggungjawab atas pertempuran di sana?

Hanyalah pasrah jawaban terakhirku. Seluruh upaya dan dayaku telah berakhir, semampunya kupegang bumi dengan tanganku, semakin kuat sehingga ia lepas. Maka, alasan apa lagi bagiku untuk menahan badai, mengerti seakan-akan aku yang paling mengerti, memerintah padahal tiada kuasa kepadaku.

Dariku, doa adalah persembahan. Aku tidak mempunyai harta apapun di dunia yang layak kuberikan. Karena doa, orang-orang dapat melihat kemuliaan yang datang dari manusia. Ia membumbungkan tinggi-tinggi nilai kemanusiaan, merendahkan dirinya tanpa alasan apapun. Doalah yang mengantarkan manusia kepada derajat tertingginya. Bukan emas atau barang mewah. Aku tidak memungkiri hasratku untuk menguasai semua barang berkilau itu, tetapi padaku sudah ditunjukkan sebuah kemuliaan. Orang-orang berdoa kepadaku. Bagiku, itulah harta yang melampaui segala harta di dunia, meskipun berkeping-keping emas kutaruh di dalam kotak, kusimpan dengan rapat yang teramat sangat, tetapi itu belum sempurna di atas persembahan.

Kusadari ini semua sebab aku merasa malu ketika orang-orang mulai menyumpahiku dengan serapah. Gerutu dan amarah itu yang kau dengar sering diteriakkan kepada para pejabat yang lalim. Di antara kami terbentang jauh, bahkan sangat panjang, antara miskin dan kaya, antara keringat dan wewangian antara nasi yang dihinggap kutu dan sebelanga daging sapi. Pantaskah aku berdoa kepada Tuhan untuk mengampuni mereka?

Itulah masa lalu. Biarlah itu menjadi hal yang dilepaskan karena semua ada, dari yang lalu sampai sekarang, karena kehendak-Nya. Aku tampaknya lemah di hadapan orang-orang, layaknya tidak mengerti kehidupan, tidak mengerti peradaban, juga dibilang kolot. Aku menghadapinya dengan rasa penuh kesedihan. Karena itu, sering aku merasa berjalan sendiri ditinggal jauh orang-orang. Kesedihan yang kumaksudkan tidaklah air mata yang jatuh, sebab kemarahanku dapat berkobar dari kesedihan. Tamparlah mukaku karena itu kehormatan yang pantas kepadaku.

Pernahkah kau memuliakan manusia? Jawa Barat milik Belanda setelah Perjanjian Renville. Ayahku gugur di dalam hutan sekitar Bandung Selatan, yang darinya ia katakan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peluru meretakkan dadanya. Ia gugur di tanah airnya, bukan di tanah Belanda. Ibuku hanya menangis, meratapi kematiannya dengan sementara waktu.

Kudengarkan semua cerita itu dari hati ibu yang masih dibara api. Masa-masa dahulu, katanya, semua orang sama keras teguhnya mempertahankan kemerdekaan. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk kembali pada kemuliaan dan martabat rakyat Indonesia. Terlalu sulit memadamkan api lelaki pejuang. Ayah di pihak republik dalam kemerdekaan, daripadanya juga ditanam dalam-dalam benak suatu nasionalisme. Ia mengajarkannya kepada seorang gadis sampai cita-cita di dalamnya pernah menjatuhkannya dalam pelukan cinta.

Gadis itu sekali waktu pernah menyaksikan raga Kartosuwiryo, pendiri Dewan Pertahanan Umat Islam (DPUI) yang kemudian hari  mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Ia masih ingat betapa tutur dan laku Kartosuwiryo membuatnya tampak alim dan sederhana. Ayah bertemu dengan Kartosuwiryo, perjumpaan yang terjadi semata secara kebetulan di persimpangan jalan. Betapa pedihnya Perjanjian Renville yang kali kedua menjadi racun, setelah perjanjian Linggarjati, kepada pejuang-pejuang kemerdekaan. Mereka lekas berpisah, mungkin pula karena tingginya derajat beda ideologi masing-masing yang tidak memungkinkan mereka berbicara lebih banyak.

Perjumpaan yang tidak terduga itu rupa-rupanya menjadi pertanda awal kecurigaan para pejuang. Ibu harus membela. Tidak ada alasan menuduh pengkhianatan seorang nasionalis karena ketidaksukaan terhadap Soekarno, Hatta dan tokoh lainnya. Sekarang keadaan memang tidak begitu memihak kepada rakyat. Kau harus mengerti bahwa Perjanjian Renville semakin menjempit kami, wilayah Indonesia semakin menyusut. Ayah dan banyak pejuang tidak menduga bahwa perundingan justru menggagalkan pembebasan, bahkan mengubur hidup-hidup badan kami. Soekarno dan Hatta menjadi sasaran kemarahan. Selama dua hari setelah perjanjian, keluarlah segala macam maki-makian dari getar bibir Ayah, kepada Belanda dan tokoh-tokoh negara.

Keputusasaan segera menghantui para pejuang. Syukurlah ketegangan tidak berumur lama, karena nyatanya mereka memandang ke arah yang satu tentang nasib rakyat. Maka Ayah memahami maksud para pejuang lainnya yang pergi menyeberang, tidaklah ia mengira mereka hendak meninggalkan dirinya, apalagi meninggalkan tanah air. Kemana badan mereka dapat melepaskan rakyat dari Belanda, disitulah mereka datang. Tangannya memutih, selongsong peluru memuntahkan darah ke perutnya. Ayah gugur dalam pertempuran di hutan saat malam belum diterangi bintang. Republik berakhir untuknya.

Dari ibu, aku memperoleh pelajaran berharga. Aku berada dalam dua dunia yang tidak akan pernah orang-orang akan memahaminya. Perang menebarkan kematian, yang tidak sekalipun masuk akal, tidak juga pernah membantin dalam hatiku. Sementara aku mencintai seorang gerilyawan yang mampu menaklukkan hati ibuku. Ia menjaga, dalam kesempatan lain menanamkan nasionalisme. Ibu menurunkan semua hal itu kepadaku sedari kecil, saat aku menginjak tahun ketiga yang waktu itu juga mengantarkan Ayah pada peristirahatan terakhir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline