Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Parni Hadi dan Jurnalistik Cinta

Diperbarui: 12 November 2020   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parni Hadi Foto | Wikipedia

Parni Hadi, praktisi media, meski kini sudah berusia lanjut (72 tahun),  tetap bersemangat menggeluti jagat jurnalistik. Bila diajak berdiskusi tentang pers, nada bicaranya meninggi dan berapi-api. 

Ia memang tidak kenal lelah bila bicara hal ini, mengingat lagi pengalamanya pernah memimpin kantor berita Antara, RRI dan harian Republika. 

Dalam jagat jurnalistik, Parni Hadi pernah bermukim di Jerman dengan pengalaman liputannya demikian luas dan beragam. Ia punya perhatian tinggi pada bidang politik, sosial, budaya dan seni. Dalam keseharian ia pun punya perhatian dalam bidang keagamaan dan sosial. 

Pun di berbagai kesempatan, ia sering tampil sebagai nara sumber dan sebagai pembawa acara. 

Salah satu gagasaannya yang menarik adalah ketika ia melontarkan perlunya bagi awak media mengembangkan jurnalistme cinta. Nah, mendengar sebutan cinta, awak media yang masih jomblo jadi penasaran. Publik pun dibuat jadi penasaran.   

Begini. Suhu Parni, sapaan penulis kepada Parni Hadi, awalnya memperkenalkan  "Prophetic Journalism". Jurnalistik ini sejatinya menurut dia sama dengan jurnalistisme cinta. 

Alasannya, karena pekerjaan jurnalis melalui proses mencari, mengumpulkan dan mengolah bahan-bahan dan menyiarkannya dalam bentuk informasi dengan melibatkan olah fisik, intelektual dan spiritual sejak awal untuk melayani publik dengan penuh cinta tanpa memandang suku, ras, budaya, agama dan ideologi. 

Fungsi Prophetic Journalism adalah: memberi informasi, mendidik, menghibur, mengadvokasi, mencerahkan dan memberdayakan publik. Agar fungsi itu bisa terwujud, diperlukan persayaratan,  berikut: 1) kebebasan, agar ada 2) independensi, untuk menampilkan 3) kebenaran, guna mewujudkan 4) keadilan, demi 5) kesejahteraan, agar tercipta 6) perdamaian bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). 

** 

Realitasnya, pasca-reformasi, cara awak media menyampaikan kritik lebih berani ketimbang masa Orde Baru. Pers mendapati posisinya sebagai profesi terhormat. Posisi itu dibarengi dengan kebebasan menyampaikan pendapat memperoleh perlindungan hukum. 

Sekarang, seiring dengan dukungan teknologi, jika reporter bertugas di lapangan, tidak lagi dilengkapi alat perekam yang disediakan kantornya. Sebab, sang reporter bisa merekam dengan handphone miliknya sendiri. Lantas mengetik dengan gawai miliknya sendiri dan berlanjut disampaikan ke redaksi. Dan dalam hitungan detik, sudah tersiar melalui website. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline