Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Benarkah Sistem Pengawasan Biro Umrah di Indonesia Lemah?

Diperbarui: 24 Agustus 2017   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Jemaah umrah tengah memenuhi Masjidil Haram. Foto | Dokumen Pribadi

Haji 2017 | Sistem Pengawasan Biro Umrah Lemah?

Apa yang bisa dipetik dari kasus penipuan jasa agen perjalanan PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel

Kasus penelantaran jemaah umrah dan haji khusus kerap berulang setiap tahun. Termasuk yang dapat sorotan terakhir ini adalah pada perusahaan First Travel, sementara kiat menghindari penipuan untuk menunaikan ibadah tersebut sudah sering digaungkan pemerintah.

Publik paham bahwa getolnya umat Muslim di Tanah Air menunaikan ibadah umrah dilatarbelakangi antrean pergi haji demikian panjang. Akhirnya mereka jalan pintas, mendahulukan umrah. Jika tidak sekarang mencium Hajar Aswad, lantas kapan lagi? Begitu kira-kira sebagian pikiran di kalangan masyarakat lapisan bawah.

Namun antrean panjang bukanlah satu-satunya alasan. Sebab, ada sebagian di kalangan elite, umrah dijadikan ajang pamer sekaligus untuk menguatkan status sosialnya. Setidaknya, jika berbicara tentang ibadah ini lebih mengedepankan gaya hidup ketimbang substansi ritual yang harus dipahami, dihayati dan diamalkan. Gambaran ini bisa dicermati ketika selebriti tengah mengerjakan umrah. Ya namanya pesohor, hebolah.

"Daripada jalan-jalan keluar negeri tak bermanfaat. Bukankah lebih baik umrah?" ungkap rekan saya memberi alasan mengenai hal ini. 

Realitasnya, memang, kini daftar tunggu tiap daerah ada di antaranya di atas 20 tahun. Jika saja seseorang baru memiliki uang Rp25 juta dan mendaftar pada tahun ini berusia 50 tahun, maka yang bersangkutan baru pergi haji pada usia 70 tahun. Ia pun akan masuk anggota jemaah usia lanjut yang kebanyakan memiliki penyakit dan beresiko tinggi.

Harus diakui bahwa dorongan pergi umrah kini makin "kuat" lagi seiring fenomena mengularnya daftar tunggu pergi haji. Walau kuota haji sudah kembali normal dan ditambah, tidak jaminan daftar tunggu cepat berkurang. Potensi antrean panjang tetap terjadi. Indonesia kini mendapat kuota haji 221 ribu orang. Kuota ini belum ideal jika melihat populasi Muslim di Tanah Air.

Kalaupun kuota haji Indonesia ditambah menjadi 250 ribu per tahun, antrean tetap panjang. Mengapa? Ya, lantaran bank penerima setoran haji kini juga ikut "ngiler" untuk menikmati "kue" bisnis ibadah ini.  Bank secara diam-diam menawarkan kepada para nasabahnya dana talangan. Jika nasabah, apa lagi bila yang bersangkutan menjadi mitra kerjanya, akan segera diurus untuk sesegera mendapatkan porsi.

Beberapa tahun silam soal dana talangan pergi haji ini ramai dibicarakan karena dapat menambah penjang daftar tunggu pergi haji. Mereka itu bukan kelompok orang tidak mampu secara finansial dan kesehatan (sudah memenuhi syarat istithaah), tetapi terhambat antrean demikian panjang.

Meski sekarang daftar haji dengan menggunakan dana talangan "gaungnya redup", tetapi bank penerima setoran haji dengan gerakan "silence" telah berhasil menambah panjang daftar tunggu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline