Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Saba Baduy, Pentas Pariwisata Bergengsi bagi Banten

Diperbarui: 28 April 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saba Baduy yang dirayakan tahun lalu (Foto, Liputan 6)

Saba Baduy, Pentas Pariwisata Bergengsi Bagi Banten

Boleh jadi tradisi tahunan masyarakat Baduy tahun ini menjadi acara bergengsi bagi Provinsi Banten di pentas Pariwisata. Mengapa disebut demikian? Ya, lantaran sekitar 2.000 lebih warga Suku Baduy dari Kabupaten Lebak, Banten, ini akan turun dari perbukitan melaksanakan ritual tahunannya, yang dikenal sebagai Saba Baduy.

Banten, sudah puluhan tahun, terkenal dengan kesenian Debus. Para orang tua sekarang pasti ingat jika menyebut debus akan menyebut pelaku atau pemain kesenian tersebut tidak mempan dibacok, digorok. Pemainnya mampu menggoreng telor di atas kepala.

Bahkan, saking terkenalnya ke seantaro jagat, kesenian ini sering mentas di beberapa negara jiran. Negara sahabat sering pula mengundang tim kesenian ini. Debus kadang menjadi delegasi kesenian Indonesia di luar negeri.

Itu dulu. Tetapi untuk era reformasi, tubuh kebal, tak mempan tembak dan bacok seolah sudah tak setenar dulu. Meski begitu, masih banyak orang mengamalkannya secara diam-diam ilmu kebal tersebut. Maklum, kriminalitas di masyarakat makin tinggi tentu ada pula orang perlu ilmu kebal untuk menjaga diri dan menolong orang lain.

Nah, sebagai upaya meningkatkan gairah wisatawan mengenal daerah ini, Pemda Provinsi Banten mengangkat budaya Saba Baduy, sebuah tradisi yang berasal dari daerah Selatan di Kabupaten Lebak.

Untuk tahun ini  acara tersebut tergolong besar. Bagi orang Banten disebut Saba Gede. Sebab, pesertanya 2.000 orang lebih dari suku Baduy. Baik dari Baduy Dalam maupun Baduy Luar.

Tiga orang Baduy bersilaturahim ke kantor Kemenang, Kamis malam. Mereka bermalam di kantor tersebut dan tidur tanpa alas. (Dokpri)

Mulyana, seorang jurnalis setempat, menyebut Baduy Dalam masih memegang tradisi kuat. Cirinya, mengenakan pakaian putih dan selalu ke berbagai tempat tak menggunakan kendaraan seperti motor dan mobil. Lebih setia mengenakan baju putih, berjalan ke berbagai tempat tanpa alas kaki.

Sebaliknya, Baduy Luar sudah terkominasi tradisi masyarakat sekitar. Sudah mengenakan alas kaki dan pergi dengan menggunakan kendaraan dengan mengenakan pakaian warna hitam.

Menginap dan tidur di lantai bagi warga Baduy adalah hal biasa. Jalan kaki berjam-jam dengan jarak jauh bukan persoalan. Ini nyata sampai kini, tiga warga Baduy pada Kamis malam (27/4) menginap di kantor Kementerian Agama (Kemenag). Tujuannya, menjalin silaturahim.

“Saya kenal mereka ketika saya berkunjung ke kediamannya. Saya menjadi utusan Menteri (Agama), untuk menjajaki kemungkinan dapat berkunjung ke lokasi mereka. Tapi, Pak Menteri tak jadi pergi ke sana lantaran medannya sangat berat. Jalannya berbukit menuju ke tematnya,” kenang Kepala Biro Umum Kemenag, Syafrizal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline