Media sosial baru-baru ini menjadi panggung bagi sebuah pengakuan kolektif yang hening namun kuat: tren "sederhana tapi dulu tidak bisa". Warganet berbondong-bondong membagikan momen-momen kecil yang kini mampu mereka raih---sepotong kue yang dulu hanya bisa dipandang, mainan yang hanya ada dalam angan, atau sekadar menikmati hidangan tanpa rasa was-was.
Sekilas, ini mungkin terlihat seperti etalase keberhasilan material. Namun, jika kita menelisik lebih dalam, ini adalah sebuah upacara penyembuhan massal. Setiap unggahan adalah penegasan atas narasi pertumbuhan diri, sebuah deklarasi sunyi yang berbunyi, "Aku telah berjuang, dan aku berhasil melampaui batas-batas masa laluku."
Fenomena ini adalah pintu gerbang menuju salah satu emosi manusia yang paling universal dan kompleks: nostalgia. Namun, kita harus segera menanggalkan pemahaman usang bahwa nostalgia hanyalah kerinduan pasif. Ia adalah salah satu modus fundamental dari perilaku adaptif.
Para pemikir psikoanalisis seperti Sigmund Freud, Sndor Ferenczi, dan Franz Alexander mengidentifikasi dua jalan utama yang kita tempuh saat berhadapan dengan tekanan hidup. Pertama, adaptasi alloplastis, yaitu usaha mengubah dunia di luar diri kita agar sesuai dengan kehendak kita.
Kedua, adaptasi autoplastis, yaitu usaha mengubah dunia di dalam diri kita---pikiran, persepsi, dan emosi---untuk berdamai dengan kenyataan, sebuah konsep yang dielaborasi Freud dalam karyanya "The Loss of Reality in Neurosis and Psychosis" (1924).
Melalui artikel ini saya mengajukan sebuah tesis: nostalgia, dalam esensinya yang paling murni, adalah sebuah mekanisme adaptasi autoplastis yang luar biasa canggih dan menyehatkan. Ia adalah jangkar psikologis yang menambatkan kita di tengah lautan ketidakpastian.
Akan tetapi, di era kapitalisme lanjut yang mengkomodifikasi segalanya dan politik identitas yang semakin tajam, mesin adaptif internal ini telah dibajak. Fungsinya telah digeser dari penyembuhan diri yang otentik menjadi konsumsi simulasi dan mobilisasi massa yang beracun.
Kekuatan Jangkar: Nostalgia sebagai Adaptasi Sehat
Jauh dari sekadar pelarian sentimental, nostalgia adalah sumber daya psikologis yang aktif. Penelitian mendalam oleh psikolog sosial Constantine Sedikides dan Tim Wildschut, terutama dalam karya seminal mereka "Nostalgia: Content, Triggers, Functions" (2006), mendefinisikan nostalgia bukan sebagai kerinduan akan waktu, melainkan sebagai kerinduan akan pengalaman spesifik yang diingat.
Akarnya adalah memori, dan sifatnya cenderung positif, membedakannya dari sekadar merenung atau bersedih. Menariknya, nostalgia sering kali dipicu oleh kondisi negatif: kesepian, kecemasan, atau perasaan hampa makna.