Lihat ke Halaman Asli

Edi Woda

Blogger Rasa Jurnalis

Cerbung: Riak di Ujung Telaga (1)

Diperbarui: 14 September 2020   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: embung tambak boyo. traveltribunnews.com

Pagi belum juga legah. Mata masih enggan berbinar. Kantuk masih terasa. Langkah yang gontai bergerak menuruni tangga. Seteguk air putih bisa memulihkan dahaga sehabis tidur. Tangan menghampiri beberapa perkakas. Ada yang harus dikerja.

Sementara imajinasi masih membayang di alam mimpi. Sempat bertualang meski lelap. Lelah masih bisa dibawa pergi. Pejam semalam terbuka menyambut hari baru yang cerah.

"Semalam aku bermimpi. Kita menikah."Ujar Hilary. Tapi perayaanya agak sedikit beda. Setelah kembali dari Gereja. Kita menuju rumah.

Dalam upacara pernikahan hanya ada keluargaku. Keluargamu tidak ada. Sudah kuperhatikan tapi dimana mereka ya? Sesampainya di rumah di situ ada ayahmu. Ayahmu mananti di rumah menanti kita. Setelah mendekat lebih jelas ternyata itu ayahku. 

Mimpi telah menggiring Hilary dan Herman mengitari telaga. Berjemur di bawah matahari pagi. Sambil bergerak lari. Derap mengitari telaga.

Berjemurlah. Biar Sehat. Apalagi ada Covid-covid begini, Kata Herman. 

Udara pagi begitu segar. Pohon hijau mengitari genangan telaga. Jalan kecil penuh dengan orang yang lari-lari kecil. Berolahraga mencipta sehat. Sabtu yang ramai.

Ada sekelompok ibu-ibu asyik berfoto ria. Narsis. Lebih suka berfoto dari pada bergerak menyibak keringat. Nanti bedak dan gincu bisa luntur. Sepasang kekasih bersepeda sembari melempar senyum. Mengayuh sampai segar.

Matahari semakin meninggi. Menepi beristirahat. Herman dan Hilary duduk bercerita menikmati riak di ujung telaga. 

Suara air yang mengalir teduh ya. Bikin tenang kalau didengar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline