Lihat ke Halaman Asli

Dynta Nabila Mahtristhasufi

Freelance Journalist

Dalam Tasawuf, Cinta adalah Hakikatnya

Diperbarui: 20 Agustus 2021   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perjalanan tasawuf, manusia yang sempurna adalah mereka yang telah memahami keindahan spiritualnya. Artinya mahabbah atau rasa cinta sudah tertanam dalam dirinya. Tak bisa lepas dari kuasa-Nya, Tuhan memberi rasa cinta pada manusia pilihan-Nya. Maka hal tersebut adalah hakikatnya, hamba sebagai sang "pecinta" dan Tuhan sebagai "Maha Cinta".

Jika seorang hamba telah benar-benar cinta, maka sejatinya hamba tersebut tak pernah lelah dan mengeluh dalam perjalanan menuju cahaya Tuhan. Bagi seorang yang berada pada maqam ini, bisa dekat dengan pencipta adalah sebuah tujuan yang abadi. Bukankah Allah sesuai dengan apa yang dilakukan hamba-Nya. 

Jika hamba mendekat maka Allah akan jauh lebih dekat. Namun, terkadang akal manusialah yang belum bisa memahami cara Allah menjadikan hamba dekat dengan-Nya. Rahmat Allah bisa berupa apa saja. Sebagai seorang hamba, tugasnya hanya bersyukur dan menerima apa yang telah menjadi ketetapan-Nya.

Dalam kitab Fihi Ma FIhi, Filsuf Maulana Rumi memaparkan mahabbah seperti orang yang meminum anggur.  Cinta itu bukan yang tampak dilihat dengan indera. 

Namun, cinta itu dirasa dari esensinya. Menurut Aql, Mata seseorang hanya dapat melihat sampul dan hanya mendapat pengetahuan sebatas apa yang dilihat. 

Sedangkan, Qalb dapat merasakan bahkan melihat apa yang tidak dapat dicapai dengan indera. Dalam syari'atnya, indera dapat menangkap fakta berupa gerakan ibadah seperti sholat, dzikir, puasa, dan ibadah lainnya. Namun pada hakikatnya, melalui akal yang dikaruniai oleh Tuhan, hati dapat menangkap esensi dari ibadah. Jika seseorang dapat menyeimbangangkan antara keduanya, maka akan tumbuh cinta dalam hatinya [1].

Seseorang yang telah memahami hakikat cinta tidak hanya sebatas melaksanakan gerakan dan aktifitas ibadah hanya karena kewajiban. Namun hatinya tergerak karena rasa cinta melakukan ibadah. Dalam hal ini, Ibadahnya seseorang pada maqam mahabbah adalah bukan karena kewajiban, melainkan kebutuhan agar selalu dekat dengan Tuhannya.

Sumber:

  1. Rumi, Jalaluddin. (2004). Fihi Ma Fihi: Jalan Mengarungi Samudera Kebijaksanaan. Yogyakarta: Forum. hal. 183.



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline