Lihat ke Halaman Asli

Senja yang Terlarang

Diperbarui: 29 Juli 2022   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak habis pikir, mengapa engkau berbuat seperti itu? Melanggar batas norma, adab, dan kodrat sebagai kaum hawa. 

Apa sebenarnya yang hendak engkau maui? Adakah kekurangan dari lelaki kesatria yang telah menyuntingmu? Memang, masih merasa kurangkah engkau? 

Dijadikan sebagai permaisuri dari sang kesatria, punya jabatan dan kedudukan, terhormat di mata orang sekitarmu, bahkan di mata orang seantero jagad. Tak berlebihanlah kiranya anggapan itu. Karena, nyatanya memang begitu.

Semua orang, tak secuilpun menyangkal, tak terkecuali aku. Bila engkau memang dikaruniai Tuhan berparas ayu, teramat ayu. Berkulit mulus halus, bertubuh molek yang nyaris sempurna, meski tiada manusia yang bisa dikata sempurna, raga maupun perilakunya. Lelaki manapun, akan terkesima ketika menyaksikan dan memandang wujud sosok ragamu. 

Dan, itupun hanya akan pada batas terkesima, sebagai kaum adam yang normal, bernorma dan beradab. Sebab, akan menyadari keberadaanmu yang telah memasuki ranah janur melengkung, dan beranak pinak pula. Akan menjadi beda, manakala memandangmu hanya dengan mata kepala, bukan dengan mata hati nan jernih yang hanya melahirkan pikiran kusut, lalu berandai-andai dalam gelombang frekuensi negatif di bawah standar nol. 

Nafsu mbeling pasti akan mengusik lantaran hanya sebatas dari mata kepala.

Mungkin engkau belum sampai pada pautan pemikiran, bahwa hidup ini akan selalu merujuk pada sebab akibat. Akibat yang diterima manusia saat ini, adalah takkan jauh dari sebab yang pernah dijalani. Mungkin saja engkau belum sampai ke sana, beripikir jauh, sejauh nun jauh di ujung bumi, untuk menjadi manusia insan kamil. 

Menjadi sang permaisuri dari lelaki kesatria yang nyata telah mumpuni sebagai bapak, jendral, guru dan sahabat bagi keluarga batihmu, dirimu dan anak-anak buah hatimu ...

Dar ... dor ... dar ... dor ...

Berujung pada korban yang semestinya tak perlu terjadi, bila bukan lantaran ulahmu, perilakumu yang nyata memang menyimpang. Menyimpang dari norma kepatutuan layaknya sang permaisuri, belahan jiwa sang kesatria, ibu dari anak-anakmu. Tragedi, berbuah korban kematian yang tak seharusnya terjadi. 

Lentera kasih sebagai ibu bagi anak-anakmu, garwa bagi sang perwira yang mengayomimu, tercederailah sudah. Aibmu terendus, tak disangka dinyana, yang tertutup oleh busana mahkota kehormatanmu sebagai sang permaisuri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline