Lihat ke Halaman Asli

dyah hidayati

arkeologi

Balada Pengumpul Uang Receh yang Tak Berharap Menjadi kaya Raya

Diperbarui: 27 September 2025   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Celengan receh (foto koleksi pribadi)

Berawal dari seringnya jajan di minimarket kekinian di mana bandrol harganya selalu tak pernah genap, muncullah keisengan untuk mengumpulkan koin di botol air mineral bekas. Awalnya kembalian dalam bentuk receh alias koin itu suka nyelip di dompet dan lupa dikeluarkan. Ataupun kalau ingat untuk mengeluarkan, sampai di rumah koin itu dilempar sana sini tak tentu arah. Terkadang beberapa recehan terlihat di kolong meja, atau di atas laci. Pokoknya di mana saja, di suatu tempat yang benar-benar tak direncanakan.

Karena seringnya nemu koin di seantero ruangan di rumah, timbullah keisengan mengumpulkannya di suatu wadah. Awalnya terpikir untuk memasukkannya ke dalam toples. Tapi karena toples di rumah jumlahnya terbatas jadilah akhirnya mecomot wadah bekas air mineral. Dengan menorehkan sedikit lubang seperi lubang celengan di permukaannya, koin-koin itu bisa dimasukkan dengan mudah. Selain mudah dimasukkan recehan itu juga tak susah untuk dikeluarkan kembali kapanpun kita mau. Sebab tak seperti celengan pabrikan yang permanen, celengan buatan sendiri ini bersifat fleksibel. Lagipula konsepnya kan hanya menyimpan, bukan menabung.

Akhirnya kegiatan memasukkan uang receh ke dalam botol air mineral bekas ini menjadi keasyikan tersendiri. Setiap hari botol itu wajib diisi. Bukan karena punya target untuk mengumpulkan jumlah tertentu, namun karena kegiatan jajan di minimarket masih terus jadi kebiasaan. Setiap kali pulang dari minimarket ada saja recehan yang bakal dibawa pulang. Entah itu pecahan Rp. 100,-… Rp. 200,-…Rp. 500,-… atau Rp. 1000,-. Semua yang berbentuk bundar dan terbuat dari logam wajib masuk dalam celengan. Bahkan sesekali nemu uang logam di jalan saya selalu mencomotnya tanpa malu-malu. Buat apa sih malu. Bagi saya nemu itu adalah rejeki. Kalau ada prinsip uang yang nemu di jalan jangan diambil karena uang kita bakalan hilang dalam jumlah yang lebih besar, itu justru mengherankan.

Ngomong-ngomong soal recehan, saya ini tinggalnya di kota besar lho. Tapi menganggap recehan tetap penting. Beda dengan anak-anak dari daerah tertentu yang letaknya di pelosok perkebunan sawit sana. Setiap tahun kantor saya menerima siswa-siswa SMK yang lokasi sekolahnya di perkebunan sawit untuk melakukan PKL. Dan sepertinya di daerah mereka uang receh sama sekali tidak ada harganya alias tidak berlaku, bahkan yang pecahannya Rp. 1000,- sekalipun. Saya sering melihat mereka melempar-lempar uang koin ke mana-mana. Sementara saya, nemu Rp. 100,- di jalanan pun sudah sangat bahagia. Bukan karena nilainya tapi karena sensasinya.

Apakah dengan mengumpulkan koin kita bisa berharap suatu saat jadi kaya raya? Sepertinya itu bakalan mustahil. Apalagi jika seperti saya, uang koin tak hanya sekedar dikumpulkan tetapi juga sesekali dipakai. Uang koin sering jadi penyelamat saat saya membutuhkan uang cash sementara dompet sedang kosong dan mau berangkat ke ATM juga malas-malasan. Atau versi ekstrimnya lagi ketika benar-benar memang sedang kehabisan duit alias saldo di rekening nol besar. Alhasil acara mengorek-ngorek celengan menjadi prosesi tersendiri di saat-saat tertentu. Biasanya sih untuk membeli beberapa batang rokok atau camilan murahan di warung ketika mulut mulai pahit karena tak ada yang dihisap atau dikunyah.

Uang koin bahkan di mata saya lebih istimewa dibandingkan uang kertas pecahan Rp. 1000,- atau Rp. 2000,- atau bahkan Rp. 5000,- sekalipun. Kenapa begitu? Sebab saya sering mengabaikan pecahan-pecahan kertas itu dan suka menaruhnya sembarangan sampai kelupaan. Saya lebih perhatian dengan lembaran besar nominal Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,- (hehehe… ya tentu saja). Beda dengan uang koin yang selalu saya sayang-sayang bak emas permata yang berharga walaupun nilainya sangat kecil.

Walaupun sangat menyayangi uang koin, namun saya tak pernah protes saat kasir minimarket meminta dengan nada sopan, “Rp. 200,- nya boleh disumbangkan, Bu?”. Ya itu karena kembalian yang Rp. 200,- itu tidak berada di tangan saya sehingga secara visual memang tidak saya lihat. Beda lagi ketika koin sudah di tangan saya dan ada yang memintanya. Bahkan ketika harus membayar parkir saya lebih memilih untuk mengeluarkan uang kertas Rp. 5000,- an dan meminta kembalian dibandingkan harus memberikan koin-koin saya.

Beberapa kali saya membaca di internet bawa ada orang yang mampu membeli mobil atau barang mahal lainnya dengan menggunakan uang koin. Sungguh luar biasa. Namun yang bagi orang lain masuk akal, bisa jadi bagi diri saya cukup mustahil. Benar… karena mereka yang bisa mengumpulkan hingga berkarung-karung uang mungkin adalah penabung ulung yang memang disiplin dengan hidupnya. Sementara saya… salah satu hobi saya adalah menyambangi minimarket walaupun hanya untuk membeli sebotol minuman dingin. Artinya saya bukanlah orang yang bisa mempertahankan saldo rekening saya dengan cukup baik. Mengumpulkan koin bagi saya hayalah sekedar hiburan yang mengasyikkan namun tak bisa menjadi jalan bagi saya untuk mendapatkan suatu barang yang lebih besar dari sekedar camilan murahan.

Jadi bisakah pengumpul uang receh seperti saya suatu saat bakalan jadi orang yang kaya raya? Sebaiknya saya tak banyak berharap jika itu cuma dari usaha mengumpulkan uang receh. Mungkin saya harus memikirkan cara yang lain agar bisa menjadi kaya raya suatu saat nanti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline