Lihat ke Halaman Asli

Dwi Klarasari

TERVERIFIKASI

Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

Bisakah Gaya Hidup "Hemat Listrik" Diterapkan?

Diperbarui: 27 Maret 2021   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh veeeeera from Pixabay

Jawabannya, bisa!

Jawaban tersebut merupakan hasil permenungan saya bersama saudara-saudara seiman di wilayah Keuskupan Sufragan Bogor. Ya, lewat Aksi Puasa Pembangunan (APP) 2021 dengan tema "Hemat Listrik: Sebuah Kenormalan Baru" kami diajak membangun kesadaran sekaligus niat baru terkait penggunaan listrik.

Melalui sejumlah refleksi daring sepanjang masa Prapaskah kami disadarkan bahwa selama ini kami telah menjadi "pelaku" pemborosan energi listrik. Hal ini cenderung tidak disadari karena tindakan pemborosan terjadi melalui berbagai kebiasaan sepele yang selama ini dianggap normal.

Kami pun satu per satu membuat "pengakuan". Ada yang malas mencabut pengisi daya dari stop kontak; membiarkan televisi menyala tanpa ditonton; atau membiarkan lampu menyala 24 jam; dan sebagainya.

Penghamburan energi listrik tidak saja berdampak pada tingginya biaya iuran, tetapi juga memunculkan kesenjangan sosial. Katakanlah, seseorang sanggup membayar berapa pun besarnya tagihan PLN. Namun, ada empati yang terlupakan terhadap banyak orang yang belum dapat menikmati energi listrik.

Pemborosan energi listrik berdampak kurangnya pasokan listrik sehingga harus terjadi pemadaman bergilir. Ironisnya meningkatnya permintaan pasokan listrik bukan karena kebutuhan, tetapi akibat perilaku boros orang-orang yang kurang peduli.  

Tragisnya lagi, di tingkat ASEAN Indonesia tercatat sebagai negara terboros dalam pemakaian listrik. Demikian menurut hasil studi Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) oleh Forum Komunikasi Masyarakat Hemat Energi tahun 2012. Persentase penduduk dengan perilaku hemat listrik hanya 57%.   

Dampak negatif pemborosan ternyata tidak berhenti di situ. Pemborosan energi listrik juga berdampak pada kerusakan lingkungan. Kami mendiskusikan rangkaian panjang sebab-akibat yang acap kali tidak disadari tersebut.

Sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil, seperti batubara. Selain tidak terbarukan, jumlah batubara juga semakin menipis. Sementara itu, pembakaran batubara menghasilkan emisi gas karbon dioksida (CO2).

Emisi gas CO2 berlebih berpotensi menimbulkan efek rumah kaca yang berdampak pemanasan global. Dalam perjalanannya pemanasan global akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan alam. Misalnya, mencairnya es di kutub yang salah satunya berdampak pada naiknya permukaan air laut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline