Lihat ke Halaman Asli

Dustin Dwi N

Mahasiswa Universitas Mercubuana

Melihat Korupsi dari Sudut Pandang Psikologis dan Keagamaan Berdasar Pendekatan Paidea

Diperbarui: 14 November 2022   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dustin Dwi Novpriyo_1C3231BA_TB2

Kita semua tentu setuju jika istilah korupsi selalu terukur jaraknya dengan kategori tindak kejahatan. Tidak bisa tidak. Selama ini korupsi selalu lekat dengan konstitusi, instutusi, atau kelembagaan yang mengisi tubuh suatu sistem tata kenegaraan. Korupsi datang dari kalangan elit (yang oldschool-nya disebut borjuis) seperti mereka-mereka pemeran politisi, orang-orang pemerintah, atau pimpinan dari pemangku agenda federasional bidang-bidang tertentu. Variabelnya tentu saja, pundi-pundi dan probabilitas saat lubang kesempatan itu menganga di hadapan mereka. segalanya berorientasi pada kepentingan individual atau kelompok belaka. sebelum kian melebar, baiknya kita ketahui dulu sebengis apa korupsi itu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan istilah 'Korupsi' sebagai; "bentuk penyelewengan atau penyalahgunaan uang (materil) negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain". Sederhananya, korupsi ini adalah penggelapan (upaya-upaya senyap) untuk mengalihkan kesadaran banyak orang demi mebuat kantung pribadi atau kelompok terang benderang. lebih jauh, KBBI juga menafsirkan turunan-turunan dari istilah korupsi ini, seperti korupsi akut; tindak korupsi yang familiar di alangan pemerintahan, korupsi otogenetik; yaitu korupsi oportunistik dengan memanfaatkan peranannya dalam suatu golongan; korupsi transaktif; yaitu persetujuan akad suatu pertukaran untuk prilaku suap-menyuap demi keuntungan di antara pelaku transaksi belaka, hingga korupsi predatori; yaitu korupsi yang agresif dan menunjukan sikap kerakusan dari kekuasaan yang bgitu terukur dan terkonsolidasi. Melalui, validitas-validitas peristilahannya, korupsi sejatinya menyerap masuk ke dalam sistem prilaku individu, dan kejahatan-kejahatan itu tidak melulu mengacu pada elit-elit politik seperti yang diberitakan di Teve belaka.

Jika korupsi adalah adab seseorang, ranah peninjaunya tentu berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan sosial, lingkup keyakinan, hingga psikologis, dan oleh karenanya, setiap bidang-bidang disiplin pngetahuan terus berusaha menafsirkan bagaimana korupsi itu dapat bernaung dalam diri manusia. psikologi korupsi membahas bagaimana bidang studi psikologi yang berfokus pada faktor-faktor proses, akbiat dan dampak dari tingkah laku korupsi. Sejumlah faktor dan proses terjadinya tingkah laku ini berada pada tingkat perorangan, sosial, kultrual, maupun struktural. Tingkat perorangan psikologi korupsi menjadikan psikoanalisis sebagai alat untuk mendiagnosis seperti apa saja bentuk-bentuk tingkah laku korupsi. psikoanalisis menjelaskan emunculan tingkah laku korupsi dengan meninjau rasa iri dan cemburu seseorang dengan otoritas atau kekuasaan, konflik oedipal pada masa lalu, serta mekanisme pertahanan diri. berangkat daripeninjauan psikoanalisis ini, korupsi tentu amat menyusur pada gejala moral dan alam bawah sadar seseorang dengan obsesi-obsesi dirinya.

Sejak 2004 hingga 2021, Korupsi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melaporkan kasusu penanganan korupsi sebanyak 1.194 kasus pidaa yang menjerat lebih dari 397 pejabat publik (dan jumlah ini belum mengacu pada oknum-oknum yang masih dalam penyelidikan). Tindakan korupsi telah mengakibatkan kerugian struktural pada masyarakat dan keyanga negara, meningkatkan arus kemiskinan, serta merusak ekosistem politivisme di Indonesia. Saking berbahayanya, KPK dan Kejaksaan Agung sempat beberapa kali mengusulkan gagasan hukuman mati bagi para koruptor. Namun hingga kini, problema pemberntasan korupsi tersebut terbentur pandangan pegiat HAM karena sebagaimanapun kejinya, rasa-rasanya hukuman mati cenderung belum mampu memberikan efek jera serta melanggar deklarasi universal hak asasi manusia.

Lantas, bagaimana beberapa agama memandang korupsi dan seperti apa tindaklanjut yang relevan dalam ajaran-ajaran hukum ketuhanan? mengutip dari temuan Theconversation.com, berikut ini penalaran pandangan agama terhadap hukuman korupsi.
Dalam Al-Quran, opsi hukuman mati bagi koruptor masih terbuka
Al Mas'udah, dosen ilmu hukum dari Institut Agama Islam Negeri Kediri, menjelaskan bahwa secara redaksi, Al-Quran tidak secara tegas dan spesifik mengatur hukuman mati bagi koruptor. Namun, ada ayat-ayat Al-Quran yang juga membahas pidana, dengan istilah-istilah al-sariqah (pencurian) dan al-riswah (suap) yang tersebar di beberapa surah.
Sariqah, dalam pandangan Ulama Hanafiyah, dianggap sama dengan hirabah (perampokan) yang dampaknya bersifat lebih besar daripada pencurian biasa. Dengan demikian, pencurian terhadap harta individu, atau milik publik seperti harta negara dan perusahaan dianggap sebagai tindak pidana terbesar dalam Islam, hukumnya jelas haram. Perbuatan ini dapat mengganggu dan meresahkan masyarakat, mengguncang bisnis dan perekonomian negara, termasuk di dalamnya sumber daya alam yang sejatinya menjadi rezeki masyarakat.
Perampokan aset bangsa, bagaimanapun, telah melanggar maqashid syari'ah (tujuan hukum Islam), termasuk di dalamnya adalah hak asasi manusia. "Dampaknya lebih besar daripada pembunuhan, karena pembunuhan memiliki lingkup yang sempit, terbatas antara si pembunuh dan korbannya. Sementara pencurian memiliki skala lebih besar. Korbannya masyarakat luas seperti petani, pedagang, perusahaan, dan lainnya," ujar Al Mas'udah.
Al-Quran juga memiliki beberapa ayat yang selalu dikaitkan dengan risywah (gratifikasi), yakni dalam Surah al-Baqarah ayat 188, Surah al-Maidah ayat 42, 62, dan 63, serta Surah al-Naml ayat 35 dan 36, yang seluruhnya menyatakan bahwa suap, apapun bentuknya, hukumnya haram, baik bagi al-rasyi (si penyuap) maupun al-murtasyi (yang disuap).
Menurut Al Mas'udah, walaupun Al-Quran tidak secara tegas menyebut hukuman mati bagi pelaku pidana korupsi dan suap, tidak berarti pemberlakuan hukumannya terbatas. Dalam konteks pencurian biasa seperti yang tertuang dalam Surah al-Maidah ayat 38, hukumannya adalah potong tangan. Namun, jika dilakukan dengan modus mega korupsi, maka hukuman lebih berat perlu dipertimbangkan.
"Potong tangan itu hanyalah simbol dari hukuman yang serius, bukan bermakna hukuman final. Jadi, opsi hukuman mati itu masih sangat terbuka, sebab korupsi adalah kejahatan yang memiliki dampak luas dan besar dalam kehidupan masyarakat," jelasnya. Dia menegaskan bahwa orientasi penegakan hukum pidana Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan (manfaat/kebaikan) bagi publik.
Tidak ada aturan lugas terkait hukuman mati bagi koruptor dalam Alkitab
Menurut Daniel Sutoyo, dosen Teologi dan Pendidikan Kristiani dari Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta, kandungan Alkitab menegaskan bahwa korupsi adalah kejahatan besar, namun tidak ada ayat yang secara lugas melarang maupun memperbolehkan hukuman mati.
Ia merujuk pada beberapa kisah dalam Alkitab yang jika ditafsirkan bisa saja melarang hukuman mati, tapi dalam kondisi tertentu hukuman tersebut diperbolehkan.
Menurut Paulus dalam surah Roma ayat 1-7, misalnya, disebutkan bahwa tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah. Itulah mengapa masyarakat harus percaya dan menaati pemerintah sebab mereka adalah wakil Allah. Pemerintah, menurut Alkitab, bertugas melindungi orang baik dan menghukum orang jahat. Ia menggambarkan petugas kepolisian sebagai prajurit-prajurit bersenjatakan pedang.
"Istilah 'pedang' dalam hal ini bukanlah senjata kaisar sebagai simbol kekuasaan, melainkan hukuman mati. Itulah yang digunakan oleh penguasa untuk menghukum orang-orang jahat. Pemerintah sebagai hamba Allah wajib membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat," kata Daniel.
Ia melanjutkan bahwa Allah tidak berkompromi dengan dosa, sedangkan korupsi adalah bentuk dosa, dan upah segala perbuatan dosa tersebut adalah maut. Sama seperti pemerintah yang tidak berkompromi dengan narkoba dan teroris, demikian pula Allah tidak kompromi dengan kejahatan korupsi.
Menurut Daniel, hukuman mati bagi koruptor tidak bertentangan dengan Alkitab dan kasih Allah, tapi justru menunjukkan kebenaran dan keadilan Allah.
Ini karena secara filosofis, hukuman mati bertujuan untuk kepentingan umum, agar orang lain tidak ikut melakukan kejahatan korupsi. Tujuannya bukan untuk membalas dendam kepada pelaku, tetapi supaya orang lain tidak ikut melakukan kejahatan yang sama dan mengganggu keseimbangan masyarakat. Namun, Daniel juga menekankan bahwa pandangan teologi Kristen juga mengenal teori 'rehabilitasionisme' yang meyakini bahwa keadilan itu bersifat memperbaiki, dan bukan membalas. Berdasarkan teori ini, tidak ada hukuman mati untuk kejahatan apapun. "Jika merujuk pada teori tersebut, keadilan itu seharusnya memperbaiki penjahat, bukan menghukumnya, apalagi menghukum mati," kata Daniel.
Beberapa kisah dalam Alkitab yang menjadi rujukan tentang tidak diperbolehkannya hukuman mati antara lain tertuang dalam Kejadian 4:15, yakni ketika Kain membunuh Habel, adiknya, ia tidak dijatuhi hukuman mati. Ada pula dalam Yehezkiel 18:23 yang menyatakan bahwa Allah tidak berkenan terhadap kematian orang fasik tetapi berkenan kepada pertobatannya supaya dia hidup, dan tujuan pengadilan adalah pertobatan, bukan kematian.
Buddha lebih memilih pengampunan
Martin Kovan, pakar filsafat dari University of Melbourne, Australia, mengatakan bahwa sila dalam agama Buddha pada umumnya melarang segala bentuk pembunuhan. Hal ini termasuk dalam hal hukuman mati untuk segala jenis kejahatan yang dilakukan manusia. Ini karena norma Buddha memegang teguh prinsip antikekerasan.
Ia menjelaskan bahwa penganut Buddha menaruh perhatian khusus terhadap keadilan restoratif (pendekatan yang humanis) ketimbang keadilan retributif (pembalasan), dan tidak semua bentuk hukuman reparatif memerlukan perampasan, termasuk perampasan terhadap nyawa.
Penekanan antikekerasan dalam begitu banyak tradisi Buddha, menurutnya, didasarkan pada wawasan psikologis bahwa kekerasan akan melahirkan kekerasan. Ia mengutip penelitian bahwa kekerasan negara akan memperkuat keyakinan bahwa penggunaan kekerasan berhasil.
"Ketika negara menggunakan kekerasan terhadap mereka yang melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan, jangan heran jika sebagian warganya merasa berhak melakukan hal yang sama," ujar Martin.
Keanekaragaman padangan agama dalam menentukan hukuman korupsi tentu berbeda-beda. namun diagnosis terhadap prilaku ini jika mengacu secara individual, tetaplah memerlukan tindakan klinis. Sebab konsekuensi terburuk dari korupsi dapat berakibat sistemik dengan kebiasaan sehari-hari, pola laku yang distraktif, dan kecenderungan untuk terbiasa berkelit dan politis. lebih jauh, jika berkenaan dengan korupsi pada tingkatan konstitusi, hal ini akan memberi dampak langsung pada hambatan pendidikan, kemajuan ekonomi negara, serta menjadi penyebab bencana kemiskian sebagai permualaan kemunduran suatu negara.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline