Lihat ke Halaman Asli

“Quo Vadis” Nasib Guru Honorer

Diperbarui: 25 Maret 2016   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mendikbud Anies Baswedan mengatakan "Sejak tahun 2001, guru adalah PNS Daerah. Pemda, kepsek, yayasan ramai-ramai merekrut tenaga honorer dan kini limpahan tanggung-jawab atas konsekuensi rekrutmen itu jatuh ke pundak Kemen PAN-RB." "Rekrutmen tenaga honorer dilakukan tanpa pertimbangan matang. Banyak kepala daerah rekrut honorer secara masif bila menjelang pilkada. Kepala sekolah juga begitu. Tanpa kualifikasi dan kompetensi yang jelas," (Detiknews,11/2/2016).

Ungkapan di atas nampaknya menjadi sebuah potret awal perekrutan guru honorer yang terlahir dari “kepentingan” kepala daerah, kepala sekolah, yayasan bahkan mungkin dinas pendidikan.  Mendikbud Anies Baswedan lupa bahwa penyelenggaraan pendidikan itu tugas bersama  antara masyarakat dan pemerintah.  Kepala daerah, kepala sekolah, yayasan dan dinas pendidikan pada dasarnya adalah “wajah negara” dalam melayani dunia pendidikan.

Guru adalah guru, terlepas dari kualifikasi dan siapapun yang merekrut guru honorer, mereka dilindungi  undang-undang. Dalam Undang-undang Guru dan Dosen BAB IV Pasal 13 ayat  1 dijelaskan bahwa  “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.” Diperkuat dengan  pasal 14 ayat 1 butir b menjelaskan bahwa  guru berhak “memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.”

Bila kita lihat dari undang-undang di atas nampak dengan jelas bahwa perekrutan guru honorer tidak bermasalah karena tugas semua yang berkepentingan (pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat).  Justru yang menjadi permasalahan adalah akan dikemanakan (Quo Vadis) nasib guru-guru honorer setelah lama mengabdi dan mendukung tujuan pendidikan nasional. Permasalahan demo guru-guru honorer belum lama ini pada dasarnya adalah permasalah kesejahteraan.

Mengapa menuntut menjadi PNS? Bagi semua guru honorer menjadi PNS adalah solusi kesejahteraan, karena selama menjadi honorer pemerintah tidak memberikan “perlindungan” kesejahteraan sesuai amanat UUGD No 14 tahun 2005 dan  PP No 74 Tahun 2008.   Bila hak-hak guru honorer diberlakukan sesuai undang-undang dan peraturan pemerintah maka kegaduhan dalam bentuk demo menuntut PNS dan ketidakpastian nasib guru honorer akan mereda.

Apa yang harus dilakukan pemerintah saat ini? Pertama  segera melakukan pengangkatan CPNS dan menyeleksi para guru honorer sesuai aturan yang berlaku dan sesuai kebutuhan.  Kedua segera pemerintah melaksanakan amanat undang-undang dan peraturan pemerintah tentang kesejahteraan guru terutama tentang penghasilan minimum guru. Terutama bagi guru honorer yang tidak lolos  tes PNS dan usia lanjut realisasi penghasilan minimum guru  sangat dibutuhkan.

Bila mayoritas  guru penghasilannya dibawah Rp. 500 ribu maka ini bertabrakan dengan tanggung-jawab pemerintah  yang tertuang dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Risikonya  selama undang-undang  yang berkaitan dengan hak kesejahteraan para guru belum dilaksanakan maka para guru  honorer akan tetap gaduh. Guru dengan segala keterbatas dan dinamikanya perlu mendapat perhatian lebih. Karena ditangan mereka generasi  masa depan bangsa akan survive atau menjadi pecundang.

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline