Lihat ke Halaman Asli

Penguburan di Suku Kanekes, Banten

Diperbarui: 25 April 2016   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suku Kanekes atau yang biasa kita kenal dengan nama suku baduy, suku kanekes merupakan suku yang bertempat di provinsi banten tepatnya di Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Di daerah hulu aliran sungai Ci Ujung, pada sisi utara Pegunungan Kendeng di kawasan Banten Selatan. Suku kanekes merupakan Suku Sunda yang masih mempertahankan adat-istiadat nenek moyang mereka yakni masih menganut Sunda Wiwitan murni, khususnya Kanekes Dalam dan Tengah. Kanekes Dalam dan Tengah belum terpengaruh dengan Islam, tidak seperti Kanekes Luar yang sudah mendapat pengaruh dari Islam.

Dari kemurnian inilah kami mencari tau bagaimanakah pola pemakaman atau penguburan yang mereka gunakan, apakah yang akan mereka lakukan ketika sanak saudaranya meninggal dunia ? apakah mereka mengubur mayatnya atau dimakamkan ? dan apa saja ritual yang mereka lakukan ketika sanak saudaranya meninggal.

Dari yang telah kami amati dan yang telah kami pelajari dari berabagai sumber, dikatakanlah bahwa masyarakat Kanekes Tengah dan Dalam menggunakan konsep penguburan kepada mereka yang telah meninggal. Lahan kubur pada masyarakat Kanekes terletak di sebelah selatan perkampungan mereka. Penguburan mayat pada masyarakat kanekes berbeda dengan masyarakat pada umumnya, perbedaan tersebut yakni bahwa masyarakat luas khususnya yang telah menganut Agama Islam, kepala dari mayat tersebut berada di sebelah utara dan wajah dari mayat tersebut di hadapkan kea rah Makkaah atau arah Kiblat.

Namun pada masyarakat Kanekes, letak dari posisi mayat yang akan dikuburkan adalah kepala dihadapkan ke arah Barat (mengikuti arah matahari terbit), kaki diarahkan ke arah Timur (mengikuti arah matahari terbenam) dan wajahnya diarahkan ke arah Utara. Setelah mayat tersebut dikuburkan maka masyarakat Kanekes pun menutupnya dengan meratakan kembali tanah tersebut seperti awal tanah tersebut di gali, tidak ada gundukan, papan nama, atau pohon yang ditanam untuk menandakan bahwa itu adalah kuburan. Apabila keluarga akan berziarah, maka cukuplah mendoakannya hanya dari rumah mereka.

Masyarakat Kanekes melakukan hal tersebut bukan tanpa dasar, masyarakat Kanekes melakukan pola penguburan tersebut karena mereka berpegang teguh pada apa yang nenek moyang mereka ajarkan yakni : “neda Agungna Parahun, neda Panjangna Hampura, bisi nebuk sisikuna, bisi nincak lorongannana – lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu enya ku dienyakeun, nu henteu kudu dihenteukeun”

“…. – panjang jangan dipotong, pendek jangan disambung, yang benar dilakukan, yang tidak benar jangan dilakukan”

pada intinya masyarakat Kanekes sangat menghormati apa yang Tuhan telah berikan kepada mereka, mereka tidak punya hak untuk merusak apa yang telah Tuhan mereka ciptakan, mereka sangat menghormati semesta alam jadi dengan mereka menggali tanah pun sebenarnya mereka telah melukai alam, maka apa yang telah ada di alam ini harus tetap sama seperti itu. Jadi ketika penguburan tersebut mereka tambahkan dengan gundukan atau patokan seperti batu atau pohon berarti mereka telah merubah apa yang telah ada.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline