Lihat ke Halaman Asli

Tak (Pernah) Sendiri,

Diperbarui: 6 Agustus 2017   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

...

"Tapi kau datangi dia."

"Kenapa harus kau tanyakan sesuatu yang kau tau jawabnya dan itu menyakitimu?"

"Itulah bodohnya aku. Segala hal yang berkaitan denganmu aku selalu bodoh," ujarku sambil duduk di tepi tempat tidur, mengusap mata.

"Neng, berhentilah menyakiti hatimu sendiri, air matamu terlalu mahal untuk semua ini."

"Atau justru terlalu murah? kau bicara dengan perempuan pintar bersandiwara, airmata ini juga sandiwara, tak usah kau risau. Toh tak menghentikanmu mengunjungi dia. Sepedih apapun hatiku tak akan pernah jadi pertimbangan keputusanmu. Apa pernah aku berhasil mengubah keputusanmu?"

Helaan nafas terdengar. Diseretnya kursi, tanganku dalam genggamnya. Kupandang lurus bola mata lelaki yang dengannya kuhabiskan malam. Sembilu membayangkan dia melakukan hal yang sama padanya di sana malam nanti. Genggaman yang sama, pelukan yang sama.

Perlahan kutarik tanganku, "Kau menyukai kebersamaanmu dengannya?"

"Geezz.. Neng berhentilah!"

"Kau menyukainya?"

"Kau ingin aku menjawab apa? Apapun yang kukatakan semuanya menyakitimu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline