Lihat ke Halaman Asli

Mahasiswa 1/2 Abadi (Moving On... #Part2)

Diperbarui: 2 Juli 2017   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Baru beberapa minggu masuk kuliah, tugas terus mengalir tanpa henti. Seperti sore ini, gue sedang berada di sebuah taman tengah kampus dengan dua teman gue untuk mengerjakan tugas kelompok. Mereka berdua adalah Fajar dan Ajeng. Fajar merupakan seorang pria berkaca mata dengan tubuh sangat tinggi dengan rambut ikal panjang dan ia merupakan anak rantau dari Padang. Kalau sedang marah, ia bisa mendadak nari piring pakai Hot Plate. Sedangkan Ajeng, merupakan seorang perempuan manis berkaca mata, tapi dia agak tomboy. Rambutnya sangat lurus, tapi panjangnya hanya sekuping saja, mirip kayak polwan di Bundaran HI.

Kebetulan, mereka adalah sepasang kekasih yang baru saja jadian beberapa hari yang lalu. Ibarat bunga, hubungan mereka itu sedang mekar-mekarnya. Bisa dibilang, mereka sedang kasmaran tingkat dewa, gitu. Dari sudut pandang gue sih, mereka memang cocok banget. Kenapa? Karena mereka memiliki hobi dan kesukaan yang semuanya hampir sama. Bisa dibilang sih, mereka itu sehati. Fajar anak DKV (baca: tukang gambar) dan Ajeng juga, Fajar suka Anime Jepang dan Ajeng juga, bahkan Fajar kencing berdiri dan Ajeng juga.

Sebenarnya, gue kerja kelompok berlima dengan 2 orang lainnya, tapi mereka gak ada kabar dan gak bisa dihubungi sama sekali. Mungkin, mereka sedang diculik sama Green Goblin saat sedang perjalan ke kampus. Kalau begini, gue menjadi gak enak sama Fajar dan Ajeng. Seolah, gue sedang menjadi ulet bulu di hubungan mereka, yang hanya bisa ngeliatin dengan penuh rasa iri sambil gigitin daun jati. Pait!

"Aku udah coba kabarin yang lainnya, tapi gak ada kabar nih," ujar gue sambil mengetik dengan Blackberry kesayangan gue.

"Kamu udah coba chat di grup kelompok BBM kita?" tanya Fajar sambil mendekat ke arah gue.

"WAKA-WAKA-WAKA-WAKA......" Ajeng tiba-tiba tertawa dengan kencangnya, mirip kayak Genderuwo habis makan orok.

"Kenapa ketawa, memang ada yang salah? Reseleting aku gak kebuka kok," tanya gue bingung, sambil mengecek ke arah 'adik' gue.

"Bukan itu, bukan..." kata Ajeng, menghentikan ucapannya. "Tapi, bahasa kalian itu, lohh," lanjut Ajeng lagi kembali.

"Memang kenapa bahasa kita?" tanya Fajar dengan wajah bingung.

"Kalian, kayak pasangan HOMO! WAKA-WAKA-WAKA-WAKA." Ujar Ajeng lagi, kembali diikuti dengan ketawa yang sangat kencang. Namun, kali ini mulutnya mangap lebih lebar lagi, selebar mulut kuda Nil yang habis nelen kulkas 2 pintu.

Gue gak habis pikir, kenapa Ajeng bisa bilang gue dan Fajar kayak pasangan homo, hanya gara-gara mengobrol pakai kata 'aku' dan 'kamu' doang. Memang salahnya di mana? Sebelum gue ke Jakarta, gue memang selalu menggunakan kata 'aku' dan 'kamu' untuk percakapan sehari-hari, bahkan dengan teman cowok sekalipun. Jujur, gue gak setuju, kalau percakapan 'aku-kamu' dengan sesama jenis di Jakarta, kemudian dikatakan sebagai penyuka sesama jenis. Semuanya sih, kembali lagi ke presepsi dan pandangan masing-masing setiap orang. Kalau semua orang cowok ngomong 'aku-kamu' dianggap homo, berarti dulu bapak-bapak tukang pecel di kampung gue itu homo semua dong?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline