Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Kepurbakalaan di Lore Lindu, Sulawesi Tengah, Menuju Warisan Dunia

Diperbarui: 7 Desember 2020   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Patung megalitik di Lore Lindu (Sumber: Tapak Watu Mega Situs Kawasan Lore Lindu)

Seorang rekan pernah memperlihatkan beberapa foto patung batu berujud manusia dari Lembah Bada di Sulawesi Tengah. Ukuran patung cukup tinggi, lebih dari satu meter. Lembah Bada merupakan bagian dari Taman Nasional Lore Lindu. 

Bentuk patung tersebut cukup sederhana, namun usianya sudah terbilang tua. Ada puluhan patung berdiri di sana. Dari kacamata arkeologi disebut patung megalitik (mega = besar, litik = batu). Diperkirakan patung-patung itu didirikan untuk pemujaan kepada leluhur.

Untung saja saya pernah mendapat kiriman buku Tapak Waktu Mega Situs Kawasan Lore Lindu dari seorang rekan arkeolog, Mas Faiz. Buku itu terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, 2018. Setelah saya baca-baca, cukup menarik isinya.

Beberapa temuan arkeologi di Lore Lindu (Sumber: makalah Ibu Dwi Yani)

Terluas
Lore Lindu merupakan kawasan situs megalitik terluas di Asia Tenggara. Persebaran situs mencapai 118 titik dengan luas kawasan lebih dari 156.000 hektar dengan lokasi di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Bayangkan, ada empat lembah dan satu danau di kawasan itu, yakni Lembah Behoa, Lembah Napu, Lembah Bada, Lembah Palu, dan Danau Lindu.

Selain patung manusia, di kawasan Lore Lindu juga terdapat banyak tinggalan monumental seperti kalamba (kubur batu), lumpang batu, umpak batu, kedok muka, batu monolit, dan batu berlubang. Tinggalan-tinggalan itu berusia sekitar 2.000 tahun. Tinggalan yang lebih muda berupa rumah tradisional.

Pertama kali keberadaan situs megalitik Lore Lindu dilaporkan oleh A.C. Kruyt dan N. Adriani pada 1898. Sejak itu banyak peneliti Amerika dan Eropa tertarik mendalami kepurbakalaan di Lore Lindu. Tulisan yang agak panjang disampaikan oleh Walter Kaudern pada 1927-1944. Ia menulis rinci sampai enam volume.

Mengingat Lore Lindu berisi tinggalan adiluhung, maka pemerintah melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo melakukan upaya pelestarian. Hal ini terkait wacana menjadikan kawasan Lore Lindu sebagai warisan dunia melalui UNESCO.   

Tradisi di Dong Dimen Ecomuseum, Tiongkok (Sumber: makalah Pak Daud Aris T.)

Webinar
Pelestarian dan penelitian arkeologi di kawasan Lore Lindu tentu saja berjalan bersamaan. Penelitian dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Sulawesi Utara. 

Tadi pagi, Senin, 7 Desember 2020 Balai Arkeologi Sulawesi Utara menyelenggarakan webinar bertajuk "Kawasan Megalitik Lore Lindu: Potensi, Penelitian, dan Pengembangannya". 

Kegiatan itu dihadiri oleh Kepala Balai Arkeologi Sulawesi Utara Bapak Wuri Handoko dan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Bapak I Made Geria, yang sekaligus memberikan pengarahan.

Pak Geria mengungkapkan betapa tradisi masa lalu itu bersifat menyapa alam. "Kita dituntun untuk menjaga alam. Masyarakat zaman dulu lebih familiar dalam menjaga bumi," kata Pak Geria. Selanjutnya Pak Geria mencontohkan konsep Tri Hita Karana, bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan dan lingkungannya. Juga dalam mengangkat nilai-nilai kearifan untuk memproteksi alam atau bumi.

Ternyata banyak temuan kecil terdapat di kawasan itu, sebagaimana diuraikan Ibu Dwi Yani Yuniawati dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, di antaranya manik-manik dan wadah tanah liat. Kemungkinan besar artefak-artefak itu bagian dari bekal kubur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline