Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Perdagangan Lada di Banten Mulai Abad ke-15

Diperbarui: 13 Juni 2020   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pasar di Banten pada abad ke-16 (Foto diambil dari pemaparan Pak Sonny)

Sejak adanya keterbatasan gerak karena pandemi covid-19, semua instansi arkeologi di seluruh Indonesia, gencar melakukan kegiatan daring. Ada yang namanya diskusi atau seminar. Ada juga yang memakai nama ringan: ngobrol santai atau bincang asyik. Banyak topik tersaji dalam kegiatan itu. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten, 4 Juni 2020 lalu, menyelenggarakan diskusi bertopik jalur rempah Nusantara. Diskusi menampilkan dua narasumber, yakni Pak Idham Setiadi (Wakil Ketua Komite Jalur Rempah Ditjenbud) dan Pak Sonny Wibisono (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional). Sebagai moderator Ibu R. Setijorini, yang juga Kepala BPCB Banten.

Menurut Pak Idham, inti Jalur Rempah bukanlah komoditas rempah, melainkan nilai-nilai yang dibawa, disebarkan, dikembangkan melalui koridor interaksi antarbudaya. Rempah tidaklah diartikan secara sempit endemik Indonesia karena lada sebetulnya dari India.

Jalur Rempah, lanjut Pak Idham, tidak melulu berorientasi ke dunia luar yang luas itu, melainkan lebih dahulu tertuju ke dalam, yakni antarpulau dan antardaerah.  

Selanjutnya kata Pak Idham, rekonstruksi Jalur Rempah bukan untuk merayakan kejayaan titik masa lampau, melainkan untuk memperkuat interkoneksi antar ekosistem kebudayaan guna menghadapi masa depan. “Nominasi Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia UNESCO (kategori Jalur Budaya) merupakan tujuan, namun bukan tujuan akhir,” kata Pak Idham.

Pak Idham dan Pak Sonny (tanda panah)/Dokpri

Jalur Sutera

Tiongkok sejak lama sudah mengembangkan Jalur Sutra atau Silk Road. Bahkan sekitar 1990, sebuah televisi swasta pernah menayangkan film Silk Road secara bersambung. Kitaro, pemusik Jepang, yang saat itu populer, ikut berpartisipasi. Itulah sebabnya Silk Road mendunia.

Pak Sonny mengatakan, istilah jalan sutera atau rempah acapkali dipahami dalam lingkup yang sempit dan harafiah. Istilah jalur sutera (Seidenstrassen) diperkenalkan pada abad ke-19 oleh ahli geografi Jerman Ferdinand von Richthofen (1877). Jalan sutera adalah sebuah nama julukan atau label yang diberikan terhadap gejala pertukaran di wilayah trans Euroasia. “Apa yang sebenarnya menarik perhatian Richthofen sebagai seorang geograf adalah bagaimana perdagangan di Asia Tengah dan Tiongkok ini tumbuh sebagai interaksi antara manusia dan lingkungan perhatiannya terhadap peran komunikasi dalam pertukaran manusia selama berabad-abad dan di berbagai belahan dunia,” demikian Pak Sonny mengutip pendapat Waugh.

Kata Pak Sonny selanjutnya, pengertian silk atau spice route yang digunakan dalam perspektif ini mengacu pada definisi Unesco yaitu nama atau label dari jalur niaga yang mewakili dari produk komoditi utama yang dihasilkan Asia Tenggara dan Selatan Nusantara, diperdagangkan dan didistribusikan melalui jalur maritim dalam rentang waktu dan wilayah perdagangan luas.

Ekskavasi di Banten menemukan alat gilas lada (Dok. Puslit Arkenas)

Identitas kenusantaraan

Jalur rempah merupakan istilah yang dipandang tepat karena memberikan identitas kenusantaraan Indonesia. Dapat dikatakan demikian karena pada kenyataan Nusantara menempati wilayah dan lingkungan yang khas yaitu daerah tropis yang kaya keragaman hayatinya, baik flora maupun fauna. Kekayaan hayati itulah yang menjadi sumber komoditi niaga di masa lalu, menarik minat para pedagang termasuk tumbuhnya tanaman rempah yang asli Nusantara endemik, seperti cengkeh, pala, kemiri yang tumbuh di Maluku dan Banda, dan menjadi tempat yang cocok untuk budidaya hayati dari luar seperti lada.

Menurut Pak Sonny, dari rekaman sejarah abad ke-15--17, Kepulauan Nusantara sudah menjadi bagian dari kawasan perdagangan maritim yang disebut “Tanah di Bawah Angin ”(Reid, 1990). Ungkapan yang disebut dalam Hikayat Raja raja Pasei dan Sulalat al Salatin untuk menyataan daulat Melayu muslim di kawasan maritim Asia Tenggara, dari Aceh sampai Maluku. Muhammad Rabi penulis jalur pelayaran dari Persia pada abad ke-17, menyebut Jawa, Makassar, dan Aceh sebagai kerajaan “di bawah angin ” (zirbadad). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline