Museum Bahari terbakar pagi kemarin, begitu Daeng Mansur Amin mengirimkan berita lewat WA. Ia juga mengirimkan empat foto. Terlihat asam hitam mengepul tinggi. Saya lihat waktu terima foto pukul 09.23. Kebakaran mulai terjadi sekitar pukul 09.00. Pak Daeng atau Pak Mansur adalah sahabat saya sejak lama. Kami kenal karena sering ke Kota Tua Jakarta. Pak Daeng tinggal di sekitar Museum Bahari. Ia aktif di Sunda Kelapa Heritage.
Setelah saya posting di Facebook, banyak reaksi bermunculan. Rata-rata bernada keprihatinan atas terbakarnya bangunan cagar budaya berikut koleksi-koleksi di dalamnya. Siaran pandangan mata memang mudah diikuti lewat media sosial.
Menurut berita terakhir, kebakaran terjadi di sisi utara menimpa Gedung A dan Gedung C. Koleksi yang menjadi korban antara lain alat-alat navigasi. Musibah itu disebabkan kabel yang terkelupas memercikkan api di Gedung C, lalu menimpa koleksi yang mudah terbakar di bawahnya. Tragis.
Tabung pemadam api
Entahlah apakah Museum Bahari memiliki tabung pemadam api atau tidak. Meskipun ada, kalau api cepat merambat, memang tidak menjamin keselamatan bangunan dan benda. Namun sebagai upaya jaga-jaga, tentu saja tabung pemadam api amat diperlukan.
Saya beberapa kali mengunjungi museum, termasuk di luar Jakarta. Yang membuat miris, terutama untuk museum-museum di bawah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota, mereka jarang memperhatikan faktor keselamatan museum. Saya lihat memang ada beberapa tabung pemadam api di beberapa sudut. Setelah saya cek, ternyata sudah lama kedaluwarsa. "Kami sulit meminta anggaran untuk itu," kata seorang petugas.
Memang ada museum yang baik. Selain tabung pemadam api, mereka punya alat detektor asap, sirene atau alarm, dan water sprinkle. Jelas masalah dana menjadi kendala. Syukur-syukur kalau di dekat gedung museum ada fasilitas hidran.
Upaya pemadaman kebakaran di Museum Bahari (Foto: Kartum Setiawan)
AmblasMuseum Bahari pernah berfungsi sebagai gudang rempah-rempah. Dibangun pada abad ke-17, tentu saja zaman kolonial. Sebagian besar terbuat dari kayu. Maklum pada abad ke-17 itu belum dikenal konstruksi beton. Maka lantai dua pun terbuat dari kayu.
Semula di bangunan itu ada dua museum, yakni Museum Bahari dan Museum Angkatan Laut. Namun kemudian dimerger menjadi Museum Bahari. Peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Ali Sadikin pada 7 Juli 1977.
Oleh karena merupakan museum yang unik, orang-orang Malaysia pernah belajar di sini. Ironisnya, kini Museum Bahari di Malaysia jauh lebih baik daripada di kita. Anggaran mereka cukup tinggi, sehingga banyak menarik minat turis-turis mancanegara.