Lihat ke Halaman Asli

Dizzman

TERVERIFIKASI

Public Policy and Infrastructure Analyst

Belajar Membangun Museum Pahlawan Swadaya dari Pak Eko dan Komunitas Reenactor Malang

Diperbarui: 12 November 2018   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diorama Malang Zaman Perang Kemerdekaan (Dokpri)

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri"

-- Bung Karno --

Sayangnya, ungkapan Bung Karno tersebut telah banyak dilupakan orang. Museum sebagai representasi tempat untuk mengingat sejarah sepi dikunjungi orang. Boro-boro ingin membangun, mengunjunginya saja sudah malas. 

Makanya kalau sampai ada orang yang sampai meluangkan waktu membangun museum, dia adalah pahlawan sesungguhnya karena telah berupaya melestarikan sejarah bangsa.

Suasana ala Razia Perang di Gang Menuju Musium (Dokpri)

Awalnya ketika saya berdinas ke Jatim dan menyempatkan waktu sedikit ke Malang untuk sekedar kopdar dengan teman-teman Bolang. Ketika sedang bingung mencari tempat sejenis warung kopi untuk nangkring, tiba-tiba Pak Eko menawarkan kita untuk kopdar di Museum Reenactor Ngalam tempat beliau biasa nangkring. 

Beliau mengirim foto dan menyampaikan kalau halamannya luas dan bisa menampung hingga 50-an orang. Benar juga, daripada pusing cari tempat nangkring, mending di tempat Pak Eko saja.

Tampak Depan Musium Seperti Gedung Belanda (Dokpri)

Saya sendiri tidak membayangkan Museum Reenactor itu bentuknya seperti apa. Lha wong nyarinya saja lumayan susah karena letaknya agak terpencil di tengah padatnya kota Malang. Untung Kang Habibi yang menemani saya bersedia mengantar ke tempat beliau, walau diapun juga belum pernah ke sana. Hanya kalau menggunakan mobil masuknya harus dari jalan Sigura-gura IV karena terlalu sempit kalau dari Sumbersari III. 

Saya agak bingung ketika turun dari mobil langsung ketemu kuburan. Celingak celinguk kok hanya ada tulisan "Kampoeng Sedjarah" tanpa ada satupun petunjuk ke arah museum, sementara di sampingnya ada bangunan kos tiga lantai yang menutupi area di belakangnya.

Gang Sempit Antara Kos-Kosan dan Kuburan (Dokpri)

Saya agak ragu melangkah ke sebuah gang di samping bangunan kos tersebut, karena tampak seperti jalan buntu. Sempat terdiam sejenak sebelum wajah Pak Eko nongol di ujung jalan, baru saya yakin kalau ini memang jalan menuju museum. 

Alangkah kagetnya karena ternyata di belakang bangunan besar tersebut, tersembul bangunan dengan ciri khas kolom ala Romawi atau Gothik seperti bangunan zaman Belanda dulu. Saya pikir ini bangunan bersejarah, ternyata baru dibangun setelah menang lomba.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline