Lihat ke Halaman Asli

Ditta Atmawijaya

TERVERIFIKASI

Editor

Menolak Lupa: Mengapa Kita Harus Bicara G30S dengan Cara Baru?

Diperbarui: 29 September 2025   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah ibarat buku terbuka di padang luas. Dengan pandangan jernih, kita bisa temukan makna di balik tiap halaman. (Foto: Valentina Ivanova/Unsplash)

Setiap akhir September, sejarah seakan mengetuk pintu ingatan kita. Ada satu tanggal yang tak pernah lepas dari bayang-bayang kelam: 30 September.

Ia bukan sekadar angka di kalender, melainkan luka kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, dalam ingatan itu, suara yang terdengar sering kali sama—narasi yang diulang, emosi yang diwariskan, tanpa kesempatan untuk benar-benar dimengerti.

Pertanyaannya, apakah kita sekadar menghafal peristiwa, atau sungguh belajar darinya? Sejarah, pada hakikatnya, bukan sekadar deretan tanggal dan nama, melainkan cermin untuk melihat diri kita sendiri sebagai bangsa.

Sejak reformasi 1998, film tentang G30S PKI yang dulu wajib diputar setiap tahun, tidak lagi menjadi kewajiban. Namun, berhentinya pemutaran film itu tidak otomatis menghadirkan cara baru untuk memahami peristiwa.

Generasi yang hidup sebelum reformasi masih membawa ingatan kuat dari narasi tunggal yang ditanamkan, sementara generasi setelah reformasi tumbuh tanpa bekal pemahaman yang cukup.

Akibatnya, kita memiliki dua kutub yang sama-sama rapuh: satu terikat pada kisah lama, yang lain justru kosong atau penuh prasangka.

Menolak Lupa, Tanpa Terjebak Luka

Menolak lupa sering terdengar sebagai seruan yang keras, seakan kita harus terus memanggul beban sejarah tanpa jeda. Padahal, menolak lupa bukan berarti mengurung diri dalam trauma atau menutup kemungkinan adanya pemahaman baru.

Menolak lupa justru berarti menjaga agar sejarah tidak hilang jejaknya, sambil memberi ruang untuk melihat kembali dengan mata yang lebih jernih.

Kita tidak hanya mengulang kisah yang sama, melainkan berani mengajukan pertanyaan kritis: apa yang sesungguhnya ingin diwariskan sejarah kepada kita?

Sikap ini membuat sejarah tak lagi menjadi sekadar alat propaganda atau instrumen untuk saling menyalahkan. Sebaliknya, ia menjadi warisan kolektif yang mengajarkan kebijaksanaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline