Agus Salim dalam Panitia Sembilan: Negosiator Intelektual antara Islam dan Nasionalisme
Pada masa akhir penjajahan Jepang di indonesia, muncul momentum penting dalam sejarah bangsa Indonesia:yaitu pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau yang dikenal sebagai BPUPKI, yang memiliki tugas antara lain merumuskan dasar negara dan konstitusi. Dari BPUPKI, dibentuklah sebuah panitia kecil yang kemudian dikenal sebagai Panitia Sembilan (Committee of Nine),panitia sembilan bertugas menyusun rumusan awal tentang dasar negara yang kemudian masuk dalam Piagam Jakarta. Haji Agus Salim adalah salah satu anggota panitia sembilan tersebut.
Latar Belakang:
Agus Salim lahir 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Sumatra Barat, dengan nama Masyhudul Haq, dari keluarga bangsawan Minangkabau. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda (Europeesche Lagere School, dan kemudian Hogere Burgerschool) dan tumbuh menguasai banyak bahasa asing seperti Belanda, Arab, Inggris, Turki, Prancis, Jerman, Jepang dan lainnya. Kemampuannya dalam penguasaan bahasa dan diplomasi membuatnya sangat dihormati baik dalam lingkup Islam dan nasionalis. Ia juga aktif di Sarekat Islam sejak 1915, bekerja sebagai jurnalis, orator, dan pemimpin pemikiran di kalangan Muslim modernis.
Peran di Panitia Sembilan:
Panitia Sembilan dibentuk pada 1 Juni 1945 sebagai bagian dari sidang pertama BPUPKI. Tugas utama panitia ini adalah merumuskan kompromi antara golongan kebangsaan/nasionalis dan golongan Islam mengenai dasar negara. Peran Agus Salim hadir sebagai salah satu wakil dari pihak Islam dalam negosiasi ini. Salah satu titik kritis adalah pembahasan mengenai sila pertama pada rumusan dasar negara. Golongan Islam mengusulkan agar disertakan kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Sedangkan golongan kebangsaan, menginginkan rumusan yang lebih inklusif dan tidak membatasi kepercayaan berdasarkan agama secara eksplisit. Agus Salim mengambil posisi untuk berkompromi --- menerima rumusan yang meskipun tidak sepenuhnya seperti keinginan Islam, demi persatuan. Akhirnya, kompromi tersebut menghasilkan rumusan yang menjadi bagian Piagam Jakarta.
Kelebihan:
1. Negosiator ulung: Agus Salim mampu menjadi jembatan antara kelompok Islam dan kebangsaan, memperlihatkan kemampuan diplomasi politik yang tinggi. Ia tidak bersikap dogmatis dan mampu melihat gambaran besar persatuan bangsa.
2. Kapabilitas linguistik dan intelektual: Penguasaan bahasa asing dan pengalaman internasional memberinya keunggulan dalam komunikasi dan argumentasi, baik di forum dalam negeri maupun luar negeri.
3. Komitmen terhadap prinsip: Walau berkompromi, Agus Salim tetap menjaga integritasnya sebagai tokoh yang mewakili umat Islam dan mempertaruhkan banyak kepentingan kelompoknya dalam upaya membangun dasar negara.
Keterbatasan: