Memaknai makna dengan permaknaan mungkin terdengar seperti permainan kata semata.
Tapi justru di situlah letak masalahnya, kita sering lupa bahwa "makna" bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari proses memaknai. Dan sayangnya, proses itu tidak selalu jernih.
Makna tidak turun dari langit dalam keadaan suci. Ia diciptakan oleh pikiran manusia, melalui pengalaman, pengetahuan, dan sayangnya sering kali melalui emosi sesaat.
Banyak dari kita tidak sadar bahwa kata-kata yang kita temui setiap hari hanyalah simbol kosong. Ia menjadi hidup saat kita memberinya nyawa melalui tafsir.
Namun, harus diingat bahwa tafsir yang dibangun tanpa kesadaran bisa melahirkan kekacauan.
Menurut psikolog sosial seperti Dr. Lisa Feldman Barrett, emosi bukanlah sesuatu yang universal, melainkan konstruksi mental yang dipengaruhi oleh konteks budaya dan pengalaman pribadi.
Dilansir dari Psychology Today, Barrett menjelaskan bahwa "kita tidak hanya merespons dunia secara pasif, tapi membentuk dunia melalui prediksi dan interpretasi."
Artinya, saat kita memberi makna pada kata atau peristiwa, kita seringkali menaruh prasangka dan emosi ke dalamnya, tanpa sadar itu adalah konstruksi kita sendiri, bukan realitas objektif.
Permasalahan muncul ketika makna yang kita ciptakan menjadi absolut. Kita terjebak dalam pemaknaan seolah itu satu-satunya kebenaran.
Padahal, bisa jadi, itu hanya emosi kita yang sedang mendikte cara pandang. Kata "teguran" bisa kita maknai sebagai bentuk kasih sayang, tapi dalam kondisi emosi negatif, bisa dianggap sebagai penghinaan.
Kata "diam" bisa berarti bijak, tapi dalam pikiran sempit, bisa dianggap sombong. Dan masih banyak lagi contoh sejenis jika kita mau coba lebih melihat realitanya.