Raka menatap nisan itu dengan mata yang mulai kabur oleh air mata. Nama yang terukir di sana seakan mengejeknya, mengingatkannya pada serangkaian tahun yang telah ia lewati dengan kebencian dan kesalahpahaman. Ayahnya kini telah pergi. Dan dia... dia baru saja menyadari semuanya.
Seumur hidupnya, Raka merasa tidak pernah benar-benar mengenal ayahnya. Baginya, pria itu hanya sosok keras yang lebih banyak bicara dengan amarah daripada kasih sayang. Tak ada kata pujian, tak ada tepukan bangga di pundak, hanya tuntutan demi tuntutan. "Jangan malas!" "Kamu harus jadi anak yang kuat!" "Dunia ini keras, kamu harus lebih keras!" Kalimat-kalimat itu terus terngiang di kepalanya, membuatnya merasa kecil dan tak pernah cukup baik di mata ayahnya.
Ibunya selalu berkata, "Ayahmu hanya ingin yang terbaik untukmu." Tapi Raka tak pernah bisa menerimanya. Bagaimana mungkin bentakan dan hukuman bisa menjadi bentuk kasih sayang? Ia melihat teman-temannya memiliki ayah yang lembut, ayah yang dengan mudahnya memeluk dan berkata bahwa mereka bangga. Sementara dia? Dia hanya bisa bermimpi merasakan itu semua.
Dia memilih menjauh. Begitu diterima di universitas luar kota, Raka pergi tanpa menoleh. Jarak menjadi perisai, membantunya melupakan segala perasaan kecewa dan marah. Bertahun-tahun dia hanya pulang saat benar-benar perlu, itu pun tanpa banyak bicara. Ayahnya juga tidak pernah menghubunginya lebih dulu. Seakan mereka diam-diam sepakat untuk membangun tembok di antara mereka.
Hingga suatu hari, ibunya menelepon dengan suara bergetar. "Pulanglah, Nak. Ayah sakit."
Raka mengabaikannya. Dia berpikir, jika ayahnya tak pernah peduli padanya, mengapa dia harus peduli pada ayahnya? Dia sibuk, dia punya hidupnya sendiri, dan lagipula, pria itu baik-baik saja tanpanya, bukan?
Beberapa bulan kemudian, telepon dari ibunya kembali datang. Kali ini, tangisnya pecah. "Ayahmu meninggal."
Dunia Raka seakan berhenti berputar. Napasnya tertahan, seakan ada sesuatu yang besar menghantam dadanya. Dalam sekejap, semua hal yang tak pernah diucapkan pada ayahnya melintas di benaknya. Dia teringat bagaimana dia menutup telepon saat ayahnya mencoba menghubunginya beberapa minggu lalu. Dia teringat pesan singkat dari ayahnya yang hanya dia jawab dengan dingin. Dia teringat semua kesempatan yang dilewatkan untuk setidaknya memahami sosok itu.
Saat dia pulang, rumah mereka terasa begitu asing. Tak ada lagi suara langkah kaki berat ayahnya di pagi hari, tak ada suara berita yang biasanya memenuhi ruang tamu. Semua terasa sunyi. Di meja ruang tamu, masih ada secangkir teh yang tampaknya belum sempat disentuh. Seolah-olah ayahnya baru saja ada di sana, menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Menunggunya.
Setelah pemakaman, Raka duduk di kamar ayahnya. Untuk pertama kalinya, dia melihat tempat itu bukan sebagai ruangan seorang pria yang selalu dia sebut dingin, tapi sebagai ruang seorang ayah yang pernah menjadi muda, yang mungkin juga pernah kebingungan menghadapi hidup, yang mungkin tak tahu bagaimana cara menunjukkan cinta selain dengan caranya sendiri.
Di sudut meja, ada sebuah buku catatan. Raka membukanya dengan ragu. Halaman pertama dimulai dengan tanggal, bertahun-tahun yang lalu. Isinya adalah tulisan tangan ayahnya, sedikit berantakan namun penuh makna.