IBNU ARABI
Dalam kesunyian ruang yang mulai terungkap oleh cahaya, hadir pemahaman yang tak lagi memerlukan suara. Semakin terang ruang itu, semakin banyak garis yang tampak. Simpul-simpul takdir yang sebelumnya tersembunyi oleh kabut zaman kini menampakkan dirinya dengan jelas. Tapi kejelasan ini bukanlah pembebasan; ia adalah ujian. Karena terang yang berlebihan tak hanya menyinari, tapi juga menyilaukan.
Tak ada generasi yang lebih ringan bebannya, sebagaimana tak ada cahaya yang datang tanpa panas. Dulu, generasi terdahulu berjalan dalam kabut --- mereka diuji oleh keterbatasan pengetahuan. Kini, kita berjalan dalam terang --- dan diuji oleh kelimpahan pilihan. Cahaya membuat kita melihat lebih, tapi juga memaksa kita memilih lebih tepat. Maka sesungguhnya, beban tiap zaman adalah setara --- karena setiap ruang memiliki ujiannya sendiri.
Di tengah ruang yang mulai lapang itu, tersingkaplah satu batas: Arsy. Bukan sebagai singgasana dalam bayangan manusia, tapi sebagai batas wujud, pemisah antara segala yang mungkin dengan Yang Maha Mutlak. Arsy bukan dinding yang membatasi Allah, melainkan batas akhir dari segala kemampuan makhluk dalam memahami-Nya. Ia adalah penghormatan. Ia adalah adab.
Fana bukan jalan untuk menembus Arsy, karena Arsy tak dapat ditembus. Fana adalah jalan untuk lenyap --- agar kehendak pribadi meleleh dalam kehendak Ilahi. Sebab untuk bisa membaca cahaya tinta Al-Qalam, seseorang harus terlebih dahulu menghapus tulisannya sendiri. Dan hanya hati yang jernih dan kosong dari ambisi yang dapat menyerap cahayanya.
Semesta ini, dengan segala garis dan ruang geraknya, hanyalah seperti gelembung udara kecil di lautan tak terbatas. Ia mengapung, bergerak, dan akan pecah pada waktunya. Tapi lautan tempat ia muncul --- itulah Wujud-Nya yang tak terbatas, tak terjangkau, dan tak terdeskripsikan oleh satu pun makhluk.
Dalam ruang ini, seseorang tidak dituntut untuk tahu segalanya, tetapi untuk tunduk. Untuk mendengarkan, bukan hanya melihat. Untuk menerima, bukan menaklukkan. Karena semakin terang ruang ini, semakin diperlukan kejernihan jiwa untuk menavigasi setiap garis yang tersingkap. Terang bukan akhir perjalanan, ia adalah permulaan tanggung jawab.
Dan ketika seseorang telah memahami bahwa tak satu pun dari garis ini lepas dari kehendak, maka ia tidak lagi resah atas jumlah jalan yang terbuka atau tertutup. Ia tidak lagi gembira karena melihat lebih banyak, dan tidak pula kecewa karena ditutup dari sebagian. Ia akan duduk tenang dalam ruang cahaya --- menunggu arah yang ditunjukkan, bukan arah yang diinginkan.
Sebab ruang ini bukan miliknya. Ia hanya berjalan di dalamnya.
TABEL PERBANDINGAN
Aspek