Lihat ke Halaman Asli

didit budi ernanto

menulis kala membutuhkan

Bulan April Tak Seramah Dulu bagi Kami

Diperbarui: 15 April 2020   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semestinya April adalah bulan yang kami nanti penuh suka cita. Ibarat mendaki gunung, April merupakan awal pendakian kami menuju puncak.

Ya, April hingga Agustus adalah masa ketika usaha kecil yang kami rintis sejak 5-6 tahun lampau banyak menerima pesanan tumpeng dan nasi kotak. Rerata selalu ada pesanan 2-3 tumpeng setiap hari. Bahkan, tak jarang hingga 10-15 tumpeng dalam sehari.

Alhamdulillah,  pesanan yang tak hanya kami saja yang mensyukurinya. Ada Mak penjual ayam potong langganan kami yang selalu ikut jadi bagian kebahagiaan ini, ada Mas penjual tempe yang selalu antusias mengirim tempe pesanan kami. Atau, tetangga kami si empunya warung yang ikut senang tatkala kami membeli beras, telor dan minyak goreng dalam jumlah banyak. Serta orang-orang yang membantu kami yang selalu tersenyum seraya mendoakan kami terus dibanjiri pesanan. Doa tulus yang selalu kami mainkan.

Tapi, April kali ini bukanlah April yang biasa kami nanti dengan penuh asa, syukur dan kebahagiaan. Bulan April tak lagi Seramah dulu bagi kami. Ya, pagebluk Corona yang begitu cepat datang yang tak pernah kami duga meluluh-lantakkan semua itu. 

April kali ini tak lagi membuat hiruk pikuk di dapur kami oleh suara-suara sibuk ditingkahi piranti dapur yang seolah berirama memenuhi pesanan demi pesanan tumpeng dan nasi kotak.

Kini, semuanya sunyi. Kesunyian sebagai bagian ujian terberat bagi usaha kecil yang kami namai "Warung Kadugi". Satu-satunya usaha kecil tempat kami menggantang hidup sehari-hari untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidup. Bukan untuk muluk-muluk demi setangkup emas, apalagi berlian.

Sumber mata pencaharian tak lagi mengalir dari usaha kami. Pagebluk Corona membuat  tak ada lagi pesanan tumpeng, nasi kotak, bahkan sekadar sepiring nasi ayam penyet yang sangat kami harapkan. Usaha kami pun tutup, dengan harapan sekadar sesaat, bukan selamanya.
Sementara, argo cicilan modal  tetap terus berjalan. Relaksasi memang sedikit membantu kami,  meski nafas ini tak lagi selapang  dulu.

Ujian dari-Nya yang harus kami jalani dengan tawakal. Sembari terus berdoa agar pagebluk Corona segera enyah dari negeri ini.

Hanya, doa tanpa ikhtiar adalah naif. Ketika  masih ada ego yang terselip di relung hati hingga abai tatkala diminta tinggal di rumah, jaga jarak atau apapun namanya. Ikhtiar yang sebenarnya tidaklah susah dilakukan supaya pagebluk segera berlalu. Namun kenyataannya justru banyak orang abai mentaatinya.

Abai lantas enggan melakukan ikhtiar itu justru membuat pagebluk Corona kian lama bercokol. Menggerus mimpi-mimpi indah masa depan yang hendak diwujudkan banyak orang. Membuat kian banyak yang harus dirumahkan, di-PHK, hingga melahirkan kaum papa baru di negeri ini.

Membuat hilangnya senyum penuh optimis dari orang-orang seperti Mak penjual ayam potong, Mas penjual tempe dan wong cilik lainnya sirna. Dan, jangan sampai kelak kami dan wong cilik lainnya menjadi lupa caranya kembali tersenyum bahagia karena pagebluk Corona yang berkepanjangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline