Lihat ke Halaman Asli

Dicky Surya

Seorang mahasiswa Sosiologi yang senang mengamati fenomena sosial dan ekonomi. Senang membaca dan menumpuk buku-buku miliknya.

Meme, Antara Budaya, Hiburan dan Kritik

Diperbarui: 5 Juli 2021   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memes adalah fenomena internet, ia digemari oleh beragam usia dan humor yang ada di dalamnya adalah sindiran tajam bagi mereka yang memahaminya.

Sumber : https://www.techsmith.com/blog/how-to-make-a-meme/

Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak aspek dari rutinitas kita selama setahun belakangan ini. Akibat pandemi mengharuskan kita semua untuk mengurangi mobilisasi di luar rumah dan mengoptimalkan penggunaan teknologi khususnya penggunaan internet. Menurut survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) menunjukkan, jumlah pengguna internet Indonesia naik 8,9% per kuartal II 2020[1]. 

Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia berbanding lurus dengan penggunaan media sosial di Indonesia, terlihat dalam survei yang dilakukan Facebook bersama YouGov, menunjukkan lebih dari 140 juta orang yang tinggal di Indonesia bergabung dengan grup yang aktif selama sebulan terakhir[2]. Pengurangan aktivitas di luar rumah akibat peraturan pemerintah menjadikan aktivitas dunia maya semakin besar dan sering diakses. 

Salah satu bentuk interaksi yang populer dilakukan masyarakat melalui media sosial adalah Memes. Hampir semua orang di Internet pasti akan mmengetahui apa itu memes, Memes (dibaca mims) menurut Rahmi (2017:17) diperkenalkan oleh Richard Dawkins seorang ahli biologi, melalui bukunya The Selfish Gene pada tahun 1976. Kata meme berasal dari bahasa Yunani "mimeme" (sesuatu yang menyerupai/menirukan)[3]. 

Sebagaimana fenomena internet lainnya terdapat banyak versi mengenai awal mula dan definisi perkembangan meme di dunia, Limor Shifman dalam bukunya Memes in digital Culture (2014 : 61) mengembangkan istilah meme menjadi internet memes, sebagai sebuah kiriman modern berupa “cerita rakyat” yang dibangun bersama norma dan nilai-nilai melalui artefak budaya modern seperti photoshopped images ataupun urban legends. Namun penulis mengambil kesimpulan bahwa meme adalah istilah bagi sebuah gambar, teks, video atau gabungan diantaranya yang memiliki makna lucu, sindiran, informatif, dan sosial politik yang disebarluaskan oleh netizen di seluruh dunia.

Menurut Grundlingh dalam Rahmi (2017:3), sebuah meme dapat dibuat kembali dengan tujuan yang berbeda dan dapat berspekulasi tentang cara yang memungkinkannya sesuai dengan tindakan tutur dalam waktu yang berbeda. Dapat dikatakan sebuah meme yang sama dapat memiliki makna yang berbeda sesuai dengan tujuan dan konteks yang ingin dibuat pembuatnya.

Dalam bukunya, Wendy Griswold (2012:73) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan produk kolektif. Budaya dikatakan sebagai hasil dari sekelompok masyarakat yang diteruskan antar generasi. Dalam hal ini meme merupakan sebuah produk budaya dari masyarakat internet. Sekumpulan orang dalam sebuah komunitas internet saling berbagi meme mengenai suatu fenomena, lalu dibagikan kepada teman-teman mereka di luar komunitas tersebut sehingga meme itu menjadi semakin tersebar luas ke berbagai daerah bahkan hingga mendunia.

Dalam memandang meme dapat menggunakan berbagai perspektif, mengingat meme sebagai hasil produksi kebudayaan modern masa kini. Dalam hal ini penulis menggunakan perspektif  Ferdinand de Saussure untuk menganalisa lebih mendalam mengenai meme yang banyak beredar di internet terlebih masa pandemi seperti ini. Saussure dalam  Storey (2018) membagi bahasa menjadi dua bagian komponen. Ketika seseorang menulis kata kucing, secara harafriah, ia membuat tulisan kucing, tetapi juga memunculkan citra mental seekor kucing, yaitu makhluk kecil berkaki empat, berbulu dan mengeong. Ia menyebut yang pertama sebagai 'penanda', dan citra batin yang muncul sebagai 'petanda'.

Meme sendiri saat ini bukan hanya berfungsi sebagai lelucon, melainkan sebagai langkah baru dalam memberikan kritik atas fenomena sosial yang terjadi. Salah satu contohnya adalah ketika terkuaknya kasus penggelapan dana Bansos pemerintah yang dilakukan oleh Menteri Sosial yang menjabat saat itu, Juliari Batubara. 

Dalam kasus tersebut, ia memungut biaya "komitmen pembayaran" dari para vendor untuk memenangkan tender dalam program Bansos pemerintah sebesar Rp. 10.000,- per paketnya di seluruh Indonesia. Masyarakat, alih-alih menghujat tindakan tercela tersebut justru memparodikan tindakannya dalam berbagai meme seperti di bawah ini dikutip dari berbagai sumber.

jakarta.suara.com

 Kita akan menggunakan kacamata Saussure, yakni menggunakan lensa petanda dan penanda dalam memandang fenomena meme di atas. Kita melihat sosok Juliari Batubara yang memakai masker dan berseragam santai sedang memberi bantuan pada seorang ibu. Berbeda dengan penampilan sang mantan menteri, terlihat sosok seorang ibu yang terlihat cukup lusuh dan lemas. Dengan teks penjelasan yang ada menegaskan bahwa bantuan yang diberikan bersifat gratis, namun ada ketentuan tersembunyi tanpa disadari. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline