Lihat ke Halaman Asli

Diantika IE

Freelancer

Mengeja Dunia dengan Emak

Diperbarui: 7 Desember 2019   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pedomanbengkulu.com

"Yun, jangan pernah berhenti berharap. Kalaupun Abahmu sudah tiada, Emak akan berjuang membawakan bintang-bintang buat kamu," ujar Emak sambil tersenyum. Tangannya sibuk mengipas-ngipas wajah dengan ujung kain karembongnya. Keringatnya bercucuran. Wajahnya yang selalu riang dipenuhi titik bulir air yang siap meluncur bebas dari dahinya.

Emak duduk di hadapanku. Kakinya selonjor di atas tikar pandan yang digelar di saung sawah. Saung ini tempat peristirahatan Emak kalau sudah lelah bekerja. Satu-satunya warisan peninggalan Abah yang didapatkan turun temurun dari Aki dulu. Tempat kami menyandarkan kehidupan. Dari sawah inilah kami mendapatkan beras untuk makan, Sayuran yang ditanam di beberapa pematangnya. Buah pisang serta pepaya berbuah ranum pada sepetak tanah di belakang saung.

Kata Abah, sawah ini adalah sisa kerakusan saudaranya yang berebut harta. Begitulah cerita Abah saat beliau masih hidup dulu. Aki adalah orang paling kaya di desa Cinyasag. Sawah dan ladangnya paling luas di antara penduduk desa yang lain. Hasil panen padi melimpah, palawija pun demikian adanya. Lumbung padi yang dibangun di samping rumah nyaris selalu ramai dengan para pembeli yang datang silih berganti untuk membeli beras, eceran atau untuk dijual kembali.

Aki pun memiliki mesin pemisah gabah, karena itu tetangga antre membeli beras. Usaha Aki sangat maju. Banyak orang yang memuji keberhasilannya ketika itu. Bukan hanya karena Aki kaya raya, melainkan karena ia tetap dermawan. Aki tidak pernah keberatan membantu orang-orang yang kesusahan.

Hasil panen tidak lupa dikeluarkan zakatnya. Kalau ada orang miskin membeli beras dan uangnya kurang, Aki malah menambahkan jumlah timbangan beras bagi mereka. Abah cerita, kalau Aki semakin kaya, itu karena Aki sering sekali bersedekah.

Empat anak Aki semuanya laki-laki. Abah adalah anak bungsu. Abah pula satu-satunya anak Aki yang merasakan bangku kuliah, dari hasil panen sawah dan ladang Aki membiayai keempat anaknya. Namun hanya Abah yang tetap gigih melanjutkan sampai selesai kuliah.

Abah lulus sebagai sarjana pertanian dari IPB Bogor demi memenuhi keinginan Aki, karena ketiga kakaknya putus di tengah jalan. Kakak pertama Abah hanya lulus SMP, kakak kedua lulus SMA, dan yang ketiga putus di tengah jalan semester tiga DO karena sering bolos kuliah.

Aki ingin sekali lahan tanahnya dikelola oleh orang yang paham. Aki dan Nini bercita-cita jika anak-anaknya menjadi juragan tanah selama hidupnya. Tanah yang produktif menghasilkan padi dari sawah dan palawija dari ladang. Karena itu Abah berjuang untuk kuliah di jurusan pertanian, walaupun sejatinya Abah ingin kuliah jurusan Agama Islam.

Seminggu setelah Abah lulus kuliah, Aki jatuh sakit. Selama berbulan-bulan bergeming di atas tempat tidur. Abah lah yang mengurusinya selama itu. Dengan telaten merawat Aki hingga tiada. Karena dua tahun sebelumnya Nini sudah meninggal lebih dulu.

Dari semenjak Aki sakit lah ketiga saudara Abah mulai bertingkah aneh. Menjual sawah-sawah Aki tanpa sepengetahuan. Dengan alasan untuk modal usaha, sekolah anak, sampai alasan untuk tambahan uang untuk membeli kendaraan. Sementara Abah, tetap fokus kepada kesembuhan Aki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline