Lihat ke Halaman Asli

Dianda Aprilia Putri

Mahasiswa Aktif

Jejak Digital yang Berbahaya: Modus Predator Seksual Online

Diperbarui: 12 Juni 2025   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di tengah perkembangan teknologi dan kemudahan akses media sosial, interaksi antarmanusia telah mengalami pergeseran besar. Dunia maya yang awalnya dimaksudkan sebagai ruang berbagi dan bersosialisasi, kini juga menjadi ladang bagi munculnya kejahatan digital, salah satunya adalah predator seksual daring. Mereka bukan hanya hadir di ruang komentar atau pesan pribadi (DM), tetapi juga menggunakan berbagai platform untuk membangun relasi dengan calon korbannya. Fenomena ini diangkat secara nyata dalam artikel Kompasiana berjudul "Waspada Predator Seksual di Dunia Maya", yang menceritakan pengalaman seorang perempuan muda yang terjebak dalam bujuk rayu seorang pria asing di Facebook.

Dalam kasus tersebut, pelaku mendekati korban dengan pendekatan yang tampak normal: memberi perhatian, memuji, dan menunjukkan sikap yang suportif. Seiring waktu, hubungan virtual itu berkembang dan menciptakan rasa percaya yang tinggi dari korban terhadap pelaku. Tidak hanya itu, korban bahkan sampai rela membeli tiket dan melakukan perjalanan ke kota yang jauh hanya untuk bertemu dengan pria tersebut---yang sebenarnya baru dikenalnya lewat dunia maya dan belum pernah ditemui sebelumnya.

Perilaku predator digital seperti ini seringkali sulit dikenali sejak awal karena mereka tidak langsung menunjukkan gelagat mencurigakan. Mereka bisa saja tampil dengan akun palsu, foto menarik, bahkan menggunakan gaya komunikasi yang sopan dan menggoda. Tujuan akhirnya pun bervariasi, mulai dari eksploitasi emosional, permintaan konten pribadi (seperti foto tidak senonoh), hingga pertemuan fisik yang berujung pada kekerasan seksual atau penculikan.

Kisah nyata ini menjadi peringatan keras bahwa interaksi digital tidak selalu aman, apalagi jika melibatkan orang asing yang belum terverifikasi identitas maupun niatnya. Kepercayaan yang dibangun lewat layar seringkali membuat korban kehilangan kewaspadaan dan merasa terikat secara emosional, sehingga sulit membedakan antara perhatian tulus dan manipulasi.

Fenomena predator digital juga sangat relevan dengan isu literasi digital saat ini. Banyak remaja dan mahasiswa yang belum memiliki pemahaman utuh tentang batasan privasi, pentingnya verifikasi akun, dan cara mengenali pola manipulatif di media sosial. Mereka menjadi target empuk karena dianggap mudah didekati, mudah percaya, dan cenderung terbuka di ruang daring.

Oleh karena itu, diperlukan edukasi yang berkelanjutan untuk menguatkan kesadaran digital (digital awareness) dan etika berinteraksi di dunia maya. Masyarakat, khususnya generasi muda, perlu dibekali pemahaman bahwa tidak semua bentuk perhatian online itu positif. Penting untuk membangun filter sosial sendiri: memverifikasi informasi, tidak sembarang membagikan data pribadi, dan berani berkata "tidak" jika merasa tidJejak Digital yang Berbahaya: Modus Predator Seksual Onlineak nyaman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline