Lihat ke Halaman Asli

Pohon Kapuk

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pengantin pria itu tersenyum penuh makna kepadaku. Aku mencium pipi sahabatku, memeluknya dan mengucapkan selamat menempuh hidup baru bersama sang Arjuna pujaan hatinya, yang telah dengan paksa menaruh benih di rahimku ."  #bangsat!



***



Aku berdiri di pinggir jendela rumah sakit tempat dimana suamiku di rawat. Mataku menyapu pemandangan di bawah gedung ini. Di depanku, tepatnya di seberang rumah sakit ini, aku dapat melihat beberapa bangunan yang terlihat cukup jelas dari lantai empat ini. Ada gedung pertemuan Sejahtera, roti bakar Edi dan di sebelahnya ada kantor pusat Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSI). Nah, tepat di sebelah PRSSI inilah ada tumbuh cukup banyak pepohonan, diantaranya adalah pohon kapuk. Mataku terpesona oleh pohon-pohon kapuk ini. Ada beberapa pohon yang tumbuh cukup besar dan kokoh, dan satu dari sekian pohon itu aku rasakan paling cantik. Pohonnya paling besar dengan batang-batang ranting yang cukup besar pula. Bentuk batang rantingnya berderet seimbang antara sebelah kiri dan kanannya, sehingga tampak sekali pohon ini begitu kokoh dan indah. Tak bisa ku pungkiri, mataku terpesona oleh keindahan ini.

Sore ini, aku sudah berdiri lagi di bibir jendela rumah sakit ini. Sayang sekali hari sudah mendekati petang sehingga gelap sudah mulai membayangi. Tapi demi si Pohon kapuk, aku tetap mencoba menikmati keindahannya meski seorang diri saja.

Dan untuk menit kesekian aku masih berdiri. Bergeming di antara hipnotisan pohon kapuk dan kepuasan mataku. Posisi pemandangan yang begitu ideal ini membuatku tidak pernah di dera rasa bosan. Yang ada aku bagai kecanduan memandangi pohon kapuk ini. Entah pagi, siang, atau pun sore hari dan andai malam pun bisa menikmati keindahannya, rasanya aku akan menghabiskan waktu hanya sekedar memuaskan hasrat mataku. Seperti sore ini, aku menyempatkan diri melihat pohon kapuk ini di sela-sela rasa capeku mendampingi suamiku yang terbaring sakit di rumah sakit ini.

Letak jendela ini  sebenarnya berada di ujung lorong jalan, tapi ku lihat jarang sekali orang memanfaatkannya untuk menikmati pemandangan di luar sana. Mungkin hanya akulah orang yang paling menikmati posisi jendela ini, yang di mataku posisinya paling strategis untuk menikmati pemandangan di luar sana. Seperti saat ini, orang menatapku dengan pandangan aneh. Seorang ibu lewat di sampingku, wajahnya di penuhi keanehan memandangku. Tak lama ada segerombolan orang melewatiku lagi mereka tampak keheranan menatapku. Dan beberapa pengunjung lain rumah sakit ini dengan raut muka hampir sama "raut muka berkerut." Aku mencoba tak acuh dengan semuanya. Dengan pandangan mata aneh ke arahku itu. Justru yang patut aneh itu aku, kok bisa-bisanya mereka tidak bisa menangkap keindahan pohon kapuk di luar sana itu, batinku.

Mataku memandang keluar, tepatnya memandang pohon kapuk yang terbesar dan tercantik itu. Ku tarik bibirku membentuk sebuah senyuman bahagia. Ya, bahagia. Bagaimana tidak, karena aku melihat bunga-bunga kapuk itu mulai merekah, keluar dari cangkangnya. Ada banyak kelompok putih bunga kapuk menggantung. Membuatku makin terpesona dibuatnya. Ku dekatkan mukaku pada kaca jendela, hingga kulit mukaku melekat dan terasa dingin. Mataku menelusur, mulai dari batang paling atas dengan warna hijau daun lebih terang, menjelajah ke bawah. Ada sekelompok bunga kapuk yang ukurannya cukup besar di satu batang besar ini. Hampir tak percaya ku melihatnya. Ku ambil kaca mata yang bertengger di atas kepalaku, ya sekarang aku bisa melihatnya lebih jelas. Ku dekatkan kembali mukaku di kaca jendela, hingga kaca mataku berbenturan dengan kacanya. Aku terkaget. Ternyata mataku tak salah, memang ada sekelompok warna putih besar. Besarnya hampir seukuran orang dewasa. Ku sipitkan mata, tetapi yang kulihat justru sesosok tubuh berbalut kain putih dengan rambut panjang, posisinya seperti orang sedang duduk di batang pohon dengan kaki menjuntai ke bawah. Ku lihat, sosok itu menyeringai sambil melambaikan tangan ke arahku. Selintas, ia tampak seperti seorang perempuan. Bulu kudukku langsung berdiri. Tubuhku merinding dingin. Mukaku kaku, tak bisa ku palingkan dari pemandangan yang menyeramkan ini. Dan yang paling membuatkan prustasi justru kakiku yang tak bisa diajak kompromi untuk berlari. Kakiku seperti di lem kuat dengan lantai. Sialnya lagi mulutku pun tak bisa berkata-kata, padahal ingin benar aku teriak. Tetapi yang keluar hanyalah lenguhan napasku saja yang terasa hangat diantara seluruh tubuhku yang mendadak dingin. Napasku memburu, ku coba berteriak lagi.
Dan ...

"Setaannn ...!" Teriakku kencang.

Bruuukkkk! Tubuhku pun limbung terjatuh.

Tapi kesadaranku seratus persen penuh. Ku lirik jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari, hampir tak percaya aku melihatnya. Lorong begitu kosong. Sepiiii. Tak ada seorang pun manusia yang berkeliaran. Aku masih tergeletak tak berdaya. Tapi ... sebentar! Lamat-lamat aku mendengar suara langkah seseorang berjalan cepat setengah berlari ke arahku. Selamat! Pikirku, ternyata di tengah ketakutan yang luar biasa mendera ini masih ada pertolongan datang. Mataku menangkap sosok seorang perawat dengan baju seragam berwarna hijau muda menghampiriku. Mungkin suaraku telah membangunkan perawat jaga, pikirku. Ku pejamkan mata untuk menenangkan diri. Bunyi sepatu si Perawat semakin mendekat. Rasa tenang segera menjalariku.

"Bu, bangun. Kenapa?" Tanya si Perawat sambil menepuk-nepuk mukaku. Aku diam. Mataku masih terpejam. Ah, rasanya aku harus segera berterimakasih padanya, batinku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline