Lihat ke Halaman Asli

Lebih Baik Jadi Wartawan Onlen

Diperbarui: 2 Juli 2016   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

SALAH SATU ide yang pernah merayap di kepala saya, supaya bisa selow bertahan hidup, adalah bisnis sampingan.  Tentu kesadaran soal bisnis sampingan ini, tak serta merta membuat saya kepikiran kalau ada juga bisnis pinggiran, bisnis tengahan, atau bisnis atasan.

Bisnis sampingan, bagi saya adalah, kita sedang menjalankan satu usaha atau profesi berlandaskan profit, dan sekaligus itu pula kita menjalankan satu usaha lainnya yang tujuan utamanya adalah profit alias keuntungan. Kalau di pepatahkan, maka inilah mungkin yang disebut, sambil menyelam minum air.

Yah, apapun istilah dan pepatah yang tepat untuk itu, bisnis sampingan adalah solusi bagi siapa saja yang menginginkan keuntungan berlimpah. Oportinistis dan ambisius. Kira-kira begitu.

Adakah syaratnya?  Tentu ada. Jaman gila begini tak ada syarat? Hubungan asmara aja selalu minta syarat kok (jangan merokok misalnya), masak berbisnis sampingan gak ada syarat. Tapi sudahlah. Saya tak akan membahas itu. Sebab apa? Sebab pengelola media ini pernah berkoar-koar di kantin Pemkab Boltim; tak ada yang saya syaratkan untuk sesuatu yang aku sukai. Makanya saya ragu membahas soal persyaratan, karena siapa mengira, gara-gara membahas itu, tulisan usai sahur ini, tak lulus untuk dimuat.

Tapi biarlah. Saya nekat. Maka dari itu saya berkata;  asalkan bisnis yang dijalani tidak mengganggu pekerjaan Anda, atau sebaliknya, pekerjaan yang mengganggu bisnis Anda, maka itulah syaratnya. *tidak run*

Lanjut!

Sejujurnya, yang namanya bisnis, bukanlah barang baru bagi saya. Jadi ingat bagaimana saya mengawali pekerjaan berbau bisnis. Itu adalah masa ketika masih mengenakan seragam putih abu-abu.  Saya ditugaskan menjaga  Koperasi Sekolah. Semacam mini warung begitu. Teman saya Suaib Mashanaf pasti tidak akan pernah lupa peristiwa TGR kala itu (TGR : Tuntutan Ganti Rugi). *Apes!

Selain pernah TGR, cibiran dan olok-olok, pernah datang dari teman-teman kelas; “Cieee… Dhyrta macam gadis penjaga toko niyee”. Ada juga yang begini; “Eh bro, jagain koperasi ya? Kenapa bukan siskamling aja sekalian,”. Atau yang dikit pedih memancing emosi diri;  “Cewek cewek, WC sekolah dimana ya?”.

Itu hanya 3 olok-olok dari ribuan olok-olok yang tidak mungkin saya buka dan urai satu-satu di sini.

Meski rintangan dan badai itu datang silih-berganti, saya memilih enggan peduli. Berbisnis memang mengasyikan. Saya jadi tahu seperti apa rasanya pegang duit banyak (cuma pegang) dan bagaimana cara ‘memaksa’ atau merayu konsumen.

Sialnya, pengalaman itu tak membuat saya jadi piuner dalam berbisnis. Entah sudah berapa jenis usaha—dari pengalaman itu— yang pernah saya geluti; buka kursus komputer gratis bagi siswa-siswi SD se-Boltim, buka perpustakaan gratis di rumah, yang jelas saja dari usaha itu, saya gagal menjadi pebisnis. Kenapa? Ya,mana ada keuntungan dari usaha gratis? Padahal, potensi pasarnya cukup besar dan menjanjikan. Tapi setelah diubah jadi berbayar, eh langsung sepi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline