Lihat ke Halaman Asli

Dhanang DhaVe

TERVERIFIKASI

www.dhave.id

Dusun Manggis yang Murung di Tengah Hutan Lindung

Diperbarui: 8 September 2019   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sisa-sisa sawah di Dusun Manggis (Dokumentasi pribadi)

Siti Maryam berkisah, jika dia di Dusun Manggis sudah 10 generasi. Berasal dari leluhurnya yang diusir oleh keluarga besarnya di Pamenang. Mereka yang terusir akhirnya menyusuri sungai Batang Asai dan Meloko. 

Akhirnya mereka menepati  sebuah tempat yang banyak dijumpai pohon manggis hutan dan menjadi nama kampungnya, Dusun Manggis. Sebuah dusun mungil-terisolir yang terletak di tengah-tengah hutan lindung. Dulu mencari asa dan kini tinggal nestapa.

Pukul 08.30 kami sudah siap menempuh perjalanan jauh hari ini. Orang kampung Napal Melintang mengatakan, menuju Dusun Manggis bisa satu hari penuh perjalanan. Bisa dibayangkan?

Pagi ini kami berempat dihantar oleh Pak Muhamad Tola, mantan Sekdes Napal Melintang. Dahulu saat masih menjabat sekdes, pak Tola dalam sebulan bisa 1 -2 kali berjalan ke Dusun Manggis. 

Kami juga ditemani Roby, sekdes baru yang akan mengikuti jejak seniornya. Pak Rusli sebagai seorang pemburu dan pencari kayu hutan ikut bersama kami sebagai penunjuk jalan.

Dusun Manggis adalah salah satu dusun di Desa Napal Melintang, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dusun ini letaknya di tengah-tengah hutan lindung. 

Jarak terdekat menuju dusun ini adalah dari Napal Melintang sejauh 14 km, atau Sungai Beduri sejauh 22 km, dan atau melalui Batang Asai dengan perahu selama 6 - 12 jam.

Nenek Siti Maryam yang berkisah tentang leluhurnya (Dokumentasi pribadi)

Kami memutuskan untuk menempuh melalui rute Napal Melintang. Sebuah ransel sudah saya kenakan dan saatnya berjalan. Langkah awal yang cukup berat karena kami harus berjalan di sepanjang aliran sungai. 

Bukan perkara susahnya, tetapi lintah yang menjadi momok bagi kami. Beberapa kali kami mencabuti lintah yang sudah menghisap darah kami. Darah mengucur dan kami biarkan dibilas oleh air sungai ketari.

Sudah 1,5 jam kami berjalan tanpa berhenti akhirnya sampai juga di batas sungai dan hutan. Sebuah gubug kecil menjadi persinggahan kami. Hutan lebat siap menyambut kami. Kembali kami memastikan, tidak ada lintah yang menghisap kulit kami.

Perjalanan kami sedikit kontras. Saya dan teman-teman bergaya ala mapala dengan pakian rimba. Namun pak Tola hanya dengan celana setinggi lutut, kaus singlet, sandal jepit, topi rimba, dan tas mungil, serta golok. Dia nampak berjalan santai seolah tidak ada beban, berbeda dengan kami yang tergopoh-gopoh dan keringat bercucuran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline