Lihat ke Halaman Asli

Ami

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini hanyalah sebuah kisah biasa. Sebuah kisah biasa tentang hidup. Hidup sederhana yang kumiliki bersama kedua sahabatku. Ami, yang dalam bahasa Perancis berarti sahabat, telah memberiku banyak hal berarti. Bagiku sahabat bukan hanya teman berbagi, tetapi juga tempatku belajar tentang baik dan buruknya dunia. Tentang pasir dan juga kerikil yang selalu ada dalam setiap perjalanan. Dan juga  tentang pahit serta manisnya cinta.

Give me that!” Menyenangkan rasanya bisa memancing di kolam yang dangkal. Ikan selalu mudah untuk di tangkap.

“Maniak inggris,” cibirku.

Stop call me that!” Dita setengah berteriak dengan mata sipit yang dibesar-besarkan, Dia melotot kearahku.

“Krisis jati diri,” tambahku setelah melihat wajahnya yang semakin cemberut.

“Bisa tidak kalian berhenti?!”

“Dia yang mulai,” dengan cepat aku dan Dita saling menunjuk. Kami berdua terkejut. Bukan karena dimarahi, tetapi karena suara teman kami itu jauh lebih tinggi dari biasanya.

Zahra kembali pada buku tebalnya setelah menatapku dan Dita dengan tatapan mengerikan layaknya Ibu tiri yang kejam. Seperti anak kecil yang dimarahi oleh Ibunya, aku dan Dita menghindari tatapan tajam Zahra, dan lebih memilih untuk  saling menyalahkan lewat isyarat mata.

“Kalau kalian mau terus bertengkar, terserah. Itukan hidup kalian, bukan aku.” Ucap Zahra dengan tenang tanpa mengangkat wajah mungilnya dari buku yang sedang Dia baca. Dita dan Aku saling menatap secara bersamaan. Kami memiliki pemikiran yang sama tentang Zahra. Sejak kapan Zahra punya kemampuan membaca pikiran orang. Zahra Apriani, si pendiam  lebih sering jadi penonton dan penengah di antara pertengkaranku dengan Dita. Tanpa dipinta Zahra sering bertindak sebagai wasit dan tukang tarik kerah baju kami berdua jika pertikaian tidak lagi dapat dihindari.

Seperti dua anak kecil yang tertangkap basah telah melakukan kesalahan, kami diam di tempat masing-masing. Dita mengedarkan pandangannya untuk menghindari bertatap mata dengan Zahra, sementara aku lebih memilih untuk mengaduk-aduk gelas es teh dengan sedotan.

“Dit, pulang yuk!” ajak Zahra seraya menutup buku tebalnya. Sementara yang diajak bicara sibuk menopang dagu dan menatap sesuatu melintasi tempatku duduk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline