Mereka bilang, aku bodoh kalau keluar dari tempat ini.
"Sayang loh, kerjaan udah enak."
"Orang dalem pasti banyak yang pengen masuk sini."
"Yakin, kamu nggak nyesel nanti?"
Lucu ya. Mereka lebih khawatir aku kehilangan gaji daripada kehilangan akal sehatku.
Aku duduk mematung di balik layar monitor 14 inci yang sudah mulai berkedip seperti lampu senja kehabisan daya. Di hadapanku, file laporan yang harusnya rampung sebelum jam empat, masih terbuka tanpa isi. Aku kehabisan tenaga, bukan waktu.
Di luar sana, suara tawa mereka bersahutan. Seolah semuanya baik-baik saja. Seolah tadi pagi tidak ada yang menyindirku soal "muka lelah padahal kerja cuma gitu-gitu aja".
Kupikir, diam adalah bentuk paling sopan dari perlawanan. Ternyata tidak. Diam hanya membuat mereka lebih nyaman menindas.
Sudah berapa kali aku menenangkan diri di kamar mandi hanya agar tidak menangis di depan meja kerja?
Sudah berapa kali aku pura-pura kuat supaya tidak dibilang lemah?
Dan sudah berapa kali aku berkata dalam hati, “besok aku resign”, tapi esoknya tetap kembali karena… iya, gaji. Kebutuhan. Tagihan. Hidup.
Tapi hari ini beda.
Hari ini, aku tidak menangis di kamar mandi.
Aku tidak berbohong pada diriku sendiri.
Hari ini, aku berdiri. Menatap mata Bu Ratna yang biasa melempar senyum palsu lalu menusuk dari belakang.
Hari ini, aku tidak peduli dia kaget saat kusodorkan amplop putih itu.
Dia membuka isinya dengan alis yang mulai bertaut.
"Resign?"
Hanya satu kata itu yang keluar dari bibirnya.
Aku mengangguk. Ringan sekali rasanya.
"Ada masalah?"
Kalau aku jujur, dia tidak akan peduli. Jadi aku jawab, "Tidak, saya hanya ingin sehat, Bu. Lahir dan batin."
Dia diam. Mungkin tidak menyangka. Atau mungkin bingung harus bereaksi bagaimana saat boneka yang biasa diam mulai melangkah pergi.