Lihat ke Halaman Asli

Desy Pangapuli

Be grateful and cheerful

Kuota Ibarat Maju Benjol, Mundur Kejedot

Diperbarui: 17 Agustus 2020   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: https://www.liputan6.com/

Ehhmm...ini jelas posisi yang sulit, karena serba salah dan sama enggak enaknya.  Tetapi di masa pandemi Covid memangnya ada pilihan menyenangkan?  Tidak, itu jawabannya!  Inilah gambaran posisi kuota yang diberikan oleh perintah, yang diharapkan sebagai solusi untuk mengatasi daring.  Sebelumnya, ada baiknya kita bersikap adil.  Mengucap syukur dan terima kasih karena negara hadir bersama pelajar Indonesia.  Bicara plus dan minus itu pasti selalu ada, dan tidak akan pernah ada akhirnya. Bukankah begitu?

Kita ketahui selama ini dunia pendidikan mumet memikirkan bagaimana caranya proses belajar dan mengajar bisa terus berjalan ditengah pandemi.  Persoalannya ada segambreng, dimulai dari keterbatasan gadget, kuota, ketersediaan jaringan hingga guru yang tidak melek tekhnologi alias gaptek.  Tetapi, apakah itu artinya kita menyerah?

Puji Tuhan, tidak ada kamus menyerah.  Buktinya meski terseok-seok sudah berjalan 7 bulan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berjalan, termasuk juga oleh anak-anak yang berada di pedalaman sekalipun.  Salut, haru semua campur aduk melihat semangat anak Indonesia, dan juga para pengajarnya.

Mungkin selama ini suara negara tidak terdengar, kecuali suara Mas Menteri mengenai Dana Bos yang katanya bisa digunakan untuk membeli kuota.  Faktanya, lain nada maka lain juga lagunya, karena kuota menjadi "mimpi" siang bolong dan pelajar tetap menjerit.

Tanpa mengecilkan arti pelajar, kuota semestinya tidak melulu menunggu pemerintah.  Ada banyak tanggungjawab negara untuk rakyatnya, misalnya saja fokus mengatasi kemiskinan dampak pandemi.  Pertanyaannya, kemana pemerintah daerah atau swasta yang harusnya bisa hadir dan beremphati?

Covid adalah saatnya kita bergotong-royong membangun kepedulian, apalagi ini untuk pendidikan.  Malu kalah dengan cerita rakyat biasa yang ikhlas menyediakan layanan internet di warungnya, ataupun cerita Kepala Desa Sepakung yang inisiatif menggunakan dana desa untuk membangun jaringan internet.

Jika akhirnya pemerintah atau negara hadir mengatakan akan memberikan kuota selama 4 bulan terhitung dari September hingga Desember, wah senang banget dan juga terima kasih banget.  Tetapi persoalannya kuota bukan satu-satunya persoalan utamanya, selain gadget, jaringan beserta rombongannya itu.

Kini yang menjadi pemikiran adalah:

  1. Siapa sajakah yang berhak mendapat kuota dari pemerintah?  Apakah untuk semua, atau hanya anak pemegang Kartu Jakarta Pintar, atau ada kondisi lainnya dimana sekolah yang akan menentukannya.  Kenapa perlu untuk ditanyakan, karena tidak semua anak yang tidak KJP berarti tidak mengalami masalah kuota.  Kenapa? Jawabannya, karena tidak semua anak diperlengkapi wifi di rumahnya.

  2. Berapa nilai kuotanya?  Sangat perlu diketahui bahwa kuota tidak hanya digunakan untuk PJJ saja.  Anak juga membutuhkan kuota untuk mencari informasi di google, ataupun untuk mengerjakan tugas kelompok yang saat ini mereka lakukan lewat video call sebagai contohnya.  Maaf, ini pun dengan catatan bisa terjadi lebih dari 1 mata pelajaran.  Sehingga bisa dibayangkan berapa banyak kebutuhannya oleh anak.

  3. Kehadiran guru, yang "dirindukan" oleh anak.  Bahwa ada juga pengajar yang hanya hadir tugasnya, tetapi "mahal" kehadirannya secara fisik.  Mengerti bisa jadi karena gaptek dan mungkin juga kuota menjadi kendalanya.  Tetapi, anak atau peserta didik tidak sekedar membutuhkan tugas, ataupun link pembelajaran.  Anak juga membutuhkan gurunya yang bisa tampil mengajar sekalipun itu virtual.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline