Lihat ke Halaman Asli

Tantangan E-Governance di Era Peretasan

Diperbarui: 19 September 2022   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tantangan E-Governance Di Era Peretasan

Narasi Bjorka beberapa pekan terakhir ini menjadi isu paling hangat dan mendebarkan. Bahkan polemik kenaikan BBM, kasus Ferdy Sambo, dan beberapa persoalan  publik lainnya seolah-olah tenggelam diterjang superstar bernama Bjorka. Tidak heran Bjorka menjadi fenomenal ditengah kondisi pemerintah yang "ngotot" untuk menerapkan teknologi dalam segala bentuk pelayanan publinya. Mulai dari pelayanan kesehatan, pendidikan, pembangunan, sosial, dan lain sebagainya. Semua pelayanan itu ingin dilakukan pemerintah melalui satu sistem terintegrasi. Idealnya memang begitu, tapi mari kita periksa dengan kritis kinerja pemerintah di era 4.0 ini.

Secara konseptual pemerintah kita saat ini sedang menerapkan pendekatan Good Governance. Pendekatan ini menitiberatkan pada model tatakelola pemerintah yang baik. Didalamnya terdapat salah satu unsur, yakni membuat efisiensi pelayanan kepada masyarakat. Teknis konsep ini dilapangan disebut dengan Elektronik Governance (E-Governance). Sehingga pelayanan kepada masyarakat dilakukan menggunakan sistem digital. 

Untuk menerapkan pelayana efisien, pemerintah tentu tidak sedikit menggelontorkan dana dari APBN. Celakanya lagi, implementasi e-governance ini dijadikan ajang untuk merauk untung. Tentu kita masih ingat korupsi e-KTP yang memakan banyak anggaran negara. Itu salah satu contoh pahit dari penerapan teknologi pelayanan yang disabotase koruptor.  Selain tantangan korupsi yang sitemik, penerapan E-Governance ini mendapat musuh baru, yaitu jual beli data warga negara.

Acuhnya pemerintah

Kebocoran data pelanggan indihome, data 1,3 registrasi sim card, data 105 juta masyarakat di kPU, bahkan bocornya dokumen rahasia surat Presiden Indonesia menunjukan fakta betapa rapuhnya sistem pertahanan digital kita.. Kejadian ini tentu menjadi tamparan keras bagi Pemerintah kita untuk mencoba berbenah. Bukan menolak tanggunjawab dan berdebat diantara Pemerintah sebagai otoritas utama yang dipercaya oleh masyarakat. Gagalnya sistem perlindungan kepada data-data warga negara, perlahan membentuk asumsi publik bahwa pemerintah tidak serius merapkan E-Governance.

Warga negara pada akhirnya berada pada posisi serba salah. Tetap mengikuti aturan pelayan Pemerintah eskipun data pribadi kita mudah diretas. Atau tidak mengikuti aturan pemerintah dan tidak mendapat layanan. Tentu refleksi warga perlu menjadi catatan serius Pemerintah untuk mengoreksi dan memperkuat data keamanan digitalnya.  Apa lagi Pemerintah sendiri yang mengkampanyekan era industri 4.0 yang notabenenya berbasi pada teknologi informasi. Tetapi prakteknyanya seperti dipaksa lomba lari padahal belum mampu untuk berlari. Bahayanya kalau fenomena 4.0 ini hanyalah program-program untuk menhabiskan dana APBN yang didapat dari pajak dan buruknya hanya sedekar menguntungkan kantong pribadi pemangku kepentingan.

Prinsipnya perkembangan teknologi saat ini tidak bisa dihindari oleh pemerintah dan masyarakat. Globalisasi berbasis teknologi di satu pihak sangat membantu kita dalam mendapatkan hak-hak kita sebagai warga negara. Selain itu juga memudahkan pemerintah untuk melayani dan mendata masyarakatnya. Ini merupakan pola berpikir baru di mana negara ini sedang mencoba membangun satu sistem integrasi yang memudahkan pemerintah melayani optimal dan efisien masyaratnya. Sehingga dalam perjalanan tidak ada salah administrasi seperti yag sedang terjadi sekarang. Misalkan bantuan tidak tepat sasaran, satu nama dengan dua KTP, pelayanan yang lambat dan masih banyak lagi persoalan administrasi di republik ini. Model birokrasi seperti itu yang ingin dihapus pemerintah, tetapi apakah pemerintah sudah matang dalam menyiapkan sistem kemanaan perlindungan data warga negara?

Kebanyakan negara maju tidak main-main dengan keamanan data warga negaranya. Mereka tidak akan meluncurkan sistem pelayanan kepada masyarakat secara elektronik sebelum kekuatan sistem keamanannya sudah baik. Nah, di Indonesia, negara seperti ditekan oleh korporasi agar sistem elektronik harus berjalan. Negara seperti tidak memiliki taring menantang model pelayanan elektronik yang masih lemah sistem pangamananya. Pada akhirnya, warga masyarakat hanya di jadikan obyek dari penerapan e-governance yang masih carut-marut. Imbasnya adalah data pribadi kita mudah di bobol dan dijual untuk kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Anehnya lagi ketika ada masalah kehilangan data, pemerintah merasa tidak bersalah dan malah menantang masyarakatnya untuk lebih hati-hati dalam menjaga data pribadinya. Ini fenomena ironis di tengah tuntutan teknologi yang terus menggigit bangsa kita dan pemerintah tidak hadir sebagai satu institusi kepercayaan masyarakatnya.

Bjorka beserta hikmah baiknya

Ekspansi teknologi di era digital saat ini memang membuat kita perlahan harus sadar. Teknologi tidak hanya difungsikan untuk pelayanan prima menurut pemerintah, tetapi di satu sisi teknologi bisa digunakan untuk kepentingan lain, peretasan misalnya. Ancaman-ancaman peretasanperlu di sadari pemerintah sebagai konsekuensi logis dari penerapan teknologi dalam pelayanan kepada warga negara. Bahkan, seharusnya juga anggaran untuk sistem keamanan berbasis digital perlu dinaikan sebagai jawaban dari merebaknya model-model peretasan yang sering dialami pemerintah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline