Akhir pekan lalu, saya dan beberapa teman mengunjungi Desa Lontar, di Serang, Banten. Bukan untuk liburan menikmati pantai atau lautnya, tapi dalam urusan memberi penyuluhan ekonomi kreatif pada masyarakat pedesaan.
Dua hari saya menginap di rumah Pak Tatam, pria berkulit legam yang sudah lebih 15 tahun tinggal dan membuka warung makan serta kelontong di sana. Banyak hal jadi topik obrolan kami, soal cerita masa lalu yang lucu, hingga keluh kesah warga tentang penambangan pasir untuk reklamasi Teluk Jakarta.
Pak Tatam memang bukan nelayan, keluarganya pun tidak ada yang bekerja mencari ikan di laut. Namun, pria kelahiran Bogor 40 tahunan lalu itu tetap khawatir dengan penambangan pasir perairan dekat Pulau Tunda, di Serang tersebut, meski katanya ada CSR, namun warga tetap menolak penambangan pasir yang izinnya tidak jelas, karena mengurangi ikan hasil tangkapan dan sering merusak jaring nelayan.
Saat ikan hasil tangkapan berkurang, maka penghasilan warga Desa Lontar yang mayoritas bekerja sebagai nelayan juga berkurang. Kalau sudah begitu, daya beli masyarakat lesu dan warung Pak Tatam pasti ikutan sepi.
Menurut Tatam, keluhan nelayan Desa Lontar sudah disuarakan sejak lama, dan sempat mendapat perhatian Komisi IV DPR RI yang melakukan peninjauan pada 2016 karena area tugasnya bermitra dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tapi setelah itu, kapal-kapal besar penyedot pasir masih sering terlihat di perairan sekitar.
Pada April 2016, puluhan nelayan menggunakan kapal kecil mendekati kapal Queen of The Netherlands dan diminta menjauh serta menghentikan aktivitas penyedotan pasir di sana. Kapal tersebut bisa menyedot hingga 3.000 meter kubik pasir dari kedalaman 150 meter.
Berdasarkan pemberitaan media massa, Kapal Queen of The Netherlands (Siprus) merupakan kapal yang digunakan PT Jetstar untuk menambang pasir di Perairan Lontar sejak 2003. Selain itu, PT Jetstar juga menggunakan Kapal Cristobal Colon (Luksemburg).
Gerah karena keluhannnya dianggap lalu, para nelayan Desa Lontar bersama para mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Banten pada Oktober 2017. Demonstran satu suara menolak penambangan pasir di Banten untuk keperluan reklamasi Teluk Jakarta.
Perlahan setelah demonstrasi itu, kegiatan penyedotan pasir sudah jarang dilihat warga Desa Lontar. Menurut Tatam, mungkin sudah berhenti, atau berhenti sementara karena reklamasi di Jakarta tersandung masalah. Apapun alasannya, warga tetap menyesali penambangan pasir yang merusak ekosistem laut hingga mengurangi hasil tangkapan nelayan.
***
Selain di Teluk Jakarta, ada juga rencana reklamasi untuk menambah luas Bandara Soekarno-Hatta, di Banten. Perkiraan lahan yang dibutuhkan mencapai 2.000 hektare dengan investasi Rp 100 triliun.