Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Budaya dalam Perspektif Ideologi dan Kuasa

Diperbarui: 25 Februari 2023   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertunjukan monolog di Jember. Dokumentasi Sun Teater SMA Muhammadiyah Jember

Selama ini, banyak pihak menganggap budaya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai dan praktik yang menggambarkan karakteristik sebuah komunitas. Budaya juga dikaitkan dengan kebaikan, keindahan, dan sesuatu yang adiluhung. Padahal, kalau dilihat dari perspektif berbeda, kita bisa menemukan pemikiran yang berbeda dari asumsi umum tersebut.

Tulisan ini berangkat dari perspektif kajian budaya (cultural studies) yang menekankan bahwa dalam nilai dan praktik budaya kita bisa menjumpai persoalan ideologi dan kepentingan kuasa. 

Beberapa pemikiran yang akan banyak digunakan dalam tulisan ini adalah: (1) wacana dan pengetahuan/kuasa dari Foucault; (2) habitus modal simbolik, dan moda dominasi dari Bordieu; (3) hegemoni dari Gramsci; (4) ideologi dari Althusser; (5) penandaan mitos dari Barthes; dan, (6) pemikiran-pemikiran kritis dalam tradisi kajian budaya

Pemikiran-pemikiran tersebut akan disesuaikan dengan konteks Indonesia sehingga bisa digunakan untuk menganalisis beberapa kasus partikular yang mendukung tulisan ini.

Budaya: Habitus, Wacana/Pengetahuan, dan Praktik 

Dalam lingkup yang sangat terbatas, budaya bisa dimaknai sebagai kebiasaan yang dijalankan oleh anggota sebuah masyarakat secara ajeg dan kontinyu sehingga sudah menjadi pola dan bentuk tradisi yang memang seharusnya dirujuk dan diikuti demi tercapaianya tujuan bersama dalam jagat yang serba harmonis. 

Ketika seorang individu menjadi subjek dari tradisi tersebut, maka dia akan mendapatkan keuntungan secara kultural dengan hak untuk diakui sebagai anggota masyarakat yang secara tertib mau mengikuti tradisi yang berlaku sehingga tidak akan dianggap sebagai penyimpang (the deviant) yang akan diasingkan dari pergaulan dan aktivitas sosial yang ada. 

Sejak kecil, seorang perempuan, misalnya, dilarang keras untuk kencing sambil berdiri atau makan di depan pintu karena dianggap tabu dan bisa mendatangkan malapetaka dalam kehidupannya. Kehadiran tradisi yang dibarengi dengan hukuman-hukuman sosial jelas akan menghadirkan rasa takut yang lama-kelamaan menjadi sumber kewajaran bagi berlangsungnya praktik tersebut.

Pergelaran musik dangdut di Jember. Dokumentasi penulis

Praktik tradisi tersebut dalam pemikiran Bordieu (1994) disebut sebagai habitus. Secara sederhana habitus bisa didefinisikan sebagai kebiasaan yang secara ajeg distrukturkan dalam kehidupan masyarakat sehingga ia tidak tampak lagi sebagai struktur, tetapi kewajaran yang seolah-olah tanpa kepentingan karena kehadirannya dianggap sebagai aturan yang menguntungkan warga dalam formasi sosial. 

Kebiasaan ini akan menjadi doksa (doxa), semacam aturan-aturan sosial, yang berubah menjadi “ortodoksa”  (ortodoxa), yang diyakini kebenarannya karena akan mendatangkan ketertiban sosial. Namun, sebuah habitus tidak akan “menjadi” atau memperoleh pengakuan anggota masyarakat ketika ia tidak disosialisasikan melalui pewacanaan yang ajeg. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline