Lihat ke Halaman Asli

Ikwan Setiawan

TERVERIFIKASI

Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Menyoal Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat

Diperbarui: 29 Juli 2022   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesenian barong mengiringi arak-arakan pengantin di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur. Dok. KOMPAS/ANGGER PUTRANTO 

"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang." (UUD 1945, Pasal 18B, Ayat [2])

Saya sengaja mengawali tulisan sederhana ini dari Pasal 18B Ayat [2] UUD 1945 untuk menegaskan bahwa meskipun Negara "mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya", tetapi terdapat empat syarat yang harus dipenuhi, yakni: (1) sepanjang masih hidup; (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (4) diatur dalam undang-undang. 

Sekilas empat syarat tersebut tampak wajar-wajar saja, tetapi, kalau ditelaah lagi, bisa memunculkan permasalahan yang tidak sederhana. Keempat syarat tersebut menunjukkan kuasa hegemonik Negara dalam menentukan ada atau tidaknya masyarakat adat dengan cara mencampuri, mendefinisikan, membagi, dan melakukan pengkotakan (Rosyada, Warassih, & Herawati, 2018). 

Jelas sekali bahwa Negara ingin tetap memapankan kehendak dan kuasanya terkait masyarakat adat. Meskipun gerakan masyarakat adat menguat pasca Reformasi 1998, dalam hal legalitas, Negara tampaknya masih setengah hati. 

Implikasinya, segala usaha untuk memperkuat keberadaan masyarakat adat di tanah air, baik berupa penguatan konstitusional maupun agenda-agenda perjuangan secara praksis, bukanlah persoalan mudah.

Bagaimana kehendak dan kuasa Negara untuk "tidak melepaskan begitu saja" eksistensi masyarakat adat di Indonesia bisa dilihat dari perjalanan RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) atau yang lebih dikenal dengan RUU Masyarakat Adat. 

Meskipun secara resmi sudah masuk ke DPR sejak April 2013, beberapa kali masuk program legislasi nasional (2017-2020), didukung partai-partai besar (PDIP, PKB, dan Partai Nasdem), dan melibatkan beberapa kementerian terkait dalam pembahasannya, sampai sekarang RUU tersebut belum jelas nasibnya (Nugraha, 2019). Sampai tulisan ini dibuat RUU itu belum juga disahkan karena masih membutuhkan harmonisasi.

Harmonisasi merupakan salah satu dari rangkaian proses pembentukan perundang-undangan dengan tujuan agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan. Analoginya, harmonisasi bagi perundangan yang sudah sah dilakukan lewat uji materi (judicial review). Wacana harmonisasi ini sudah berlangsung sejak 4 September 2020 dan dilontarkan oleh fraksi-fraksi di DPR (cnnindonesia.com).

Ritual Tari Seblang di Desa Bakungan, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (12/10/2014) malam.(KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI)

Bahkan, desakan Koalisasi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat agar DPR segera mengesahkannya, belum membuahkan hasil (walhi.or.id). Menariknya, draft RUU yang berada di DPR, menurut Koalisi masih memerlukan beberapa perbaikan mendasar. 

Pertama, rehabilitasi terkait pemulihan terhadap pelanggaran hak masa lalu, yang bisa dilakukan lewat peraturan presiden atau peraturan pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan lewat lembaga yang permanen. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline