Lihat ke Halaman Asli

dedi s. asikin

hobi menulis

Mungkinkah Singkong Berjaya Lagi di Tasela?

Diperbarui: 2 Mei 2021   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Peran Tasikmalaya Selatan sebagai penghasil singkong terbesar sirna pada awal tahun 1960 an. Sekarang nyaris tak ada lagi tanaman bahan baku tapioka itu.

Apa yang terjadi  ? Konon mulai awal 1950 an, petani singkong Tasela  tergiur kabar yang datang dari Sulawesi Utara. Katanya petani di sana sukses panen cengkeh. Harganya melangit sampai Rp.300.000 per kg. Banyak petani mendadak kaya. Kabar itu menggoda hati para petani singkong  di tanah Jawa.  Termasuk petani "sampeu" di Tasela. Mereka rame-rame  tinggalkan tanaman singkong beralih "marelak" cengkeh.

Namun apa yang terjadi? Ketika panen, harganya, bukan turun lagi "ngajleng" ke bawah.  Bahkan nyaris tidak laku. Rugi dan kecewa melanda petani "sisi laut kidul" itu. Banyak yang karena marah ramai-ramai membakar  pohon  dan buah bahan baku rokok kretek itu.

Kondisi selanjutnya petani  Tasela, mungkin juga petani lain di Jawa Barat "maju kena mundur ngajeduk". Mau kembali nanam singkong, eh pabrik tapiokanya sudah pada tutup.

Mereka para petani Tasela,  sebenarnya  merupakan  korban. Korban  kelambanan pemerintah. Waktu itu belum ada Tata Ruang Wilayah Pertanian, baik nasional, provinsi atau kabupaten/kota yang mengatur di mana menanam apa.

Menggiurkanya menanam  cengkeh memang beralasan karena keekonomian bertani singkong jauh tidak memadai. Benevit cost ratio tanaman singkong itu rendah sekali. Nyaris tidak ada profitnya kata ketua Masyarakat Singkong Jawa Barat Sri Hartono.

Nasib petani Singkong, tanaman yang masuk nusantara awal abad ke 19, dibawa pemerintah kolonial Portugis itu, memang mengenaskan. Itu terasa sampai sekarang. Menurut Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, produktivitas tanaman ketela pohon itu rendah. Hanya sekitar 19 ton per hektar. Layaknya produksi itu mencapai 40 sampai 60 ton.

Sebenarnya pemerintah (kolonial) sudah menetapkan singkong  menjadi bahan pokok pangan ke 2 setelah padi. Itu terjadi ketika depresi ekonomi antara tahun 1914 sampai 1918.

Namun karena rasanya tidak begitu nyaman di perut, singkong  tidak begitu disukai. Jadilah nasi singkong itu identik dengan kemiskinan. Konsumsi kelas rendahan.

Tapi sekarang prospek pasar "maniot esculenta Crantz" itu mulai menggeliat.  Pertama telah ditemukan teknologi baru pengolahan singkong menjadi bahan makanan yang enak dikunyah dan ditelan perut. Singkong bisa dibuat Mocaf

 Jenis bahan makanan hasil modifikasi dari rasa singkong  asli menjadi tepung dengan  minus 70 % aroma  singkong. Mocaf (Modified Cassava Flour) memiliki rasa netral. Juga warna lebih putih dari hasil olahan singkong  alami. Mocaf merupakan hasil penelitian seorang guru besar Universitas Negeri Jember  bernama Dr. Ahmad Subagyo. Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian ditemukanlah jenis tepung Mocaf.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline