Lihat ke Halaman Asli

DEDE SOLEHUDIN

secangkir kopi yang diseduh hangatnya logika

Utang Luar Negeri Indonesia, Besar Pasak dan Tiang yang Keropos

Diperbarui: 19 Maret 2018   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. (sumber: tribunnews.com)

Beberapa hari ini atau mungkin dalam seminggu ini media selalu dihiasi oleh ulasan mengenai jumlah utang negeri ini yang semakin membengkak. Banyak yang khawatir akan kondisi ini dan ada pula yang sebaliknya, santai. Saya adalah termasuk kaum yang merasa diantara keduanya, galau. Kegalauan itu didasari atas ketidaktahuan akan asal usul utang itu dan peruntukannya. 

Dasar lain kegalauan itu adalah melihat angka utang negeri ini yang membuat kalkulator mini sayaerrorkarena jumlah digit yang tidak muat. Galau dengan pesimisitas saya akan kemampuan negeri ini untuk membayarnya. Galau akan nasib anak cucu saya kelak yang akan dibebankan kewajiban untuk membayarnya. Entah itu akan dikenakan pajak seperti apa lagi?

Benarkah 4.000 T?

Sekali waktu saya suka bertanya apakah betul utang negeri ini sudah diangka Rp. 4.000 T seperti yang diinformasikan oleh berbagai media?. Saya kadangkala curiga tentang kebenaran angka itu. Jikapun benar angka itu demikian adanya, saya berharap kita punya uang untuk mencicilnya atau minimal kita punya kemampuan memadai untuk menghasilkan uang.

Mengutip kebenaran nilai utang kita dari Menko Perekonomian RI dan situs kementerian keuangan RI ternyata benar adanya. Lengkapnya utang negeri ini telah tembus diangka Rp. 4.034, 80 T per akhir February 2018. Lalu nilai APBN tahun 2018 sesuai yang bisa dilihat di situs kemenkeu.go.id adalah senilai Rp. 2.220,7 T. Dari Rp.2.220,7 T, Rp. 325,9T adalah defisit anggaran yang kemudian akan dipenuhi dengan skema penjualan SBN atau dibiayai dari sumber utang. Posisi utang ini bertambah 13% dari tahun sebelumnya. Jika kita berfikiran sederhana maka utang negara tahun 2018 bertambah 325 T. Jika rata-rata tiap tahun posisi APBN negeri ini seperti ini terus, maka dalam kurun waktu 10 tahun, utang negara mencapai angka 3.250 T. Ini adalah utang baru. Jika ditambah dengan besaran utang sekarang, maka jumlahnya Rp. 7.500 T. Wowww....

Sebagai perbandingan, utang negara adidaya sekelas Amerika Serikat adalah Rp. 274, 566 T per 9 Januari 2018(sumber kontan.com). Apabila dibandingkan atas besarannya, tentu utang Indonesia masih jauh dibawah utang Amerika. Prosentasenya hanya 1,4 % dari utang Amerika.

Mampukah kita Membayar?

Mengutip pernyataan dari Menko Perekonomian Dr. Darmin Nasution, kemampuan kita untuk membayar utang sangat bisa dan mampu. Jika kita berkaca pada setiap debitur, tentu pernyataan ini adalah pernyataan yang sangat lumrah. Berani berhutang tentu ada kesanggupan juga untuk membayarnya, minimal ada komitmen. Sama seperti seorang petani yang meminjam uang kepada rentenir. Pasti awalnya merasa sangat sanggup. Kesanggupan ini tentucateris paribus. Kita bisa membayarnya dengan kondisi sekarang. Ketika perekonomian berjalan cukup baik bahkan masih menikmati pertumbuhan. 

Ketika kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika dalam posisi stabil. Kita bisa membayar utang ketika asumsi makro dan mikro terpenuhi. Asumsi-asumsi ini sama persis jika petani meminjam sejumlah uang kepada Bank atau rentenir. Tentu dengan tipe asumsi yang lebih sederhana. Misal saya bisa membayar jika hasil panen sesuai harapan, jika tidak ada hama, jika tidak ada bencana dan jika tidak ada kenaikan harga pupuk dan harga jual hasil tani sesuai harapan. Itu jika sesuai asumsi, jikacateris paribus. Namun jika segala asumsi tidak terpenuhi, maka bencana financial bisa melanda. Krisis keuangan bisa tercipta dan lebih jauhnya krisis ekonomi menjadi konsekwensi logis.

Itulah yang menjadi kekhawatiran Saya sebagai warga bangsa. Selain itu, mengingat komposisi penduduk yang notabene populasinya sebagai pegawai yang menggantungkan diri pada sebuah institusi perusahaan yang struktur modalnya dikuasai oleh asing. Posisi ini tentu sangat riskan jika suatu ketika investor menarik modalnya dan bangkrut. 

Maka tamatlah riwayat pegawai dan tentu pendapatan negara dari sumber pajak akan berkurang. Dan ini menjadi mimpi buruk buat pemerintah dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Dan ingat bahwa pengangguran akan membebani negara. Bantuan sosial akan bertambah, subsidi bertambah dan sangat bisa menggerus APBN. Kemudian untuk menutup defisit anggaran tersebut darimana?. Utang???.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline