Lihat ke Halaman Asli

Dayu Rifanto

@dayrifanto | Menulis, membaca dan menggerakkan.

Tiga Penulis Bacaan Anak di Papua.

Diperbarui: 17 Januari 2022   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Dayu Rifanto

Tiga Penulis Bacaan Anak yang Kita Perlu Ketahui

Oleh : Dayu Rifanto

Tidak ada anak yang lahir suka baca. Ia dilatih, dibentuk. -- Adian Cambers

Mencari, membeli, mengoleksi dan kemudian membaca buku -- buku bacaan anak berkonteks Papua, tak datang begitu saja pada diri saya. 

Walau lahir dan dibesarkan di sebuah kota kecil di Papua yang bernama Nabire, tak serta merta kesenangan membaca buku berlatar Papua hadir. Menengok ke belakang, kegemaran ini berawal pada tahun 2012, ketika saya mendirikan sebuah inisiatif galang buku bernama Bukuntukpapua.

Inisiatif ini menjadi pintu masuk yang membuat saya jatuh cinta pada buku bacaan anak berlatar Papua, khususnya. Kecintaan akan buku-buku, membuat saya menyadari hal -- hal menarik dan mengejutkan yang saya temui pada buku bacaan anak berlatar Papua. Antara lain pada beberapa buku terdapat penggambaran yang kurang akurat, juga sedikitnya judul buku anak berlatar Papua yang dapat dibeli di toko buku dan masih minimnya para penulis buku bacaan anak yang berasal dari Papua.

Pada sebuah kesempatan di awal November 2021, ketika menyimak paparan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Bapak Syarif Bando, saya menemukan sebuah informasi bahwasanya rasio buku secara nasional dengan perbandingan jumlah penduduk dan jumlah buku, adalah kurang lebih 270,20 Juta Jiwa berbanding 22jt eksemplar. Atau 1 buku : 90 orang.

Dan jika sedikit mundur ke belakang, di mana hasil penilaian membaca kelas awal nasional (EGRA, USAID/ RTI, 2014-Riset INOVASI) yang dilaksanakan di tahun 2014, menunjukkan hanya 47 persen siswa kelas dua SD yang dapat membaca dengan lancar dan mengerti artinya; yang berarti mereka layak melanjutkan ke kelas tiga. Di wilayah Indonesia timur (Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua), angka ini hanya menyentuh 23 persen.

 

Temuan Inovasi antara lain, yang pertama kurangnya kurikulum atau kompetensi guru untuk mengajar membaca di kelas awal, karena keliru berasumsi bahwa semua anak yang masuk kelas satu SD sudah bisa membaca; kedua rendahnya mutu kompetensi mengajar dan keterampilan tentang bagaimana mengajarkan membaca dan literasi; dan ketiga. Terbatasnya akses ke materi bacaan yang tepat, terutama siswa di wilayah terpencil, tapi juga di seluruh negeri secara umum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline