Lihat ke Halaman Asli

Murid Budiman Kian Langka?

Diperbarui: 3 Februari 2018   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia pendidikan Indonesia, kembali harus mengibarkan bendera setengah tiang. Para pecinta pendidikan Indonesia selayaknya berkabung setelah salah seorang pengabdi pendidikan, Guru  Ahmad Budi Cahyono,  seorang pendidik mata pelajaran  seni budaya di SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Jawa Timur  tewas setelah dianiaya siswanya,  merupakan mantan aktivis Lembaga Seni Mahasiswa Islam (LSMI) Malang Jawa Timur . Wafatnya Guru Ahmad, menambah rentetan panjang nasib mengenaskan yang harus dialami guru di Indonesia. 

Terkait dengan peristiwa ini ada yang mengurai kejadian itu akhibat adaanya masalah relasi guru dengan murid, analisi yang berhenti samapi pada kesimpulan ini tentu hanyalah menngupas sisi superfisial belaka, sebab jika kita gali lebih jauh, maka lahirnya relasi guru-murid tidak lepas dari sistem pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan yang dibangun era "Murid Budiman" yang sangan Indonesia sekali, sangat berbeda bentuk relasi yang dibangun pada sistem pendidikan liberal, yang lebih mengutamakan anak-anak bebas, dan memposisikan guru sekedar sebagai front liner dalam artian sebagai costumer service,. 

Guru banyak dituntut bagaimana  harus bisa membuat peserta didik di kelas merasa puas dalam makna senang, meski dalam teorinya guru ada tupoksi idesalnya, namun tuntutan liberalisme pendidikan menjadikan guru sekedar berusaha "costumer satisfacion" jika dia ingin terus ekist di hadapan para peserta didik dan orang tua. "Kerewelan" guru yang sudah pasti bertujuan positif dalam mendidik generasi penerus bangsa, mengingatkkan, menegur, ataupun sedikit dituntut keras menghadapi peserta didik yang "seenaaknya sendiri" yang sudah terdidik oleh sistem yang memanjaannya, dapat mengaancam eksistensinya di sekolah bahkan mengancam jiwanya. 

Sebagai guru yang sudah melalui pengabdian sebagai pendidik puluhan tahun, penulis merasakan, semakin liberal sistem pendidikan yang diterapkan, semakin berat dalam mengharapkan murid-murid budiman dalam interaksi pembelajaran. Hampir teman-teman guru merasakan betapa sikap "saenake dewe" dari peserta  dalam proses pembelajaran. Berbagai alasan banyak disampaikan oleh peserta didik dalam menunjukan perilaku "saenake dewe ini", yang ujung-ujungnya menambah tekanan kepada guru, apalagi guru dituntut oleh beban kurikulum dan administrasinya yang sangat rigid. 

Melalui tulisan berjudul " Pasti Bisa, Pembelajaran Berkarakter Nusantara" (kompasiana, 7 Aprik 2015)  penulis sampaikan " Menjadi Indonesia melalui pendidikan bukan berarti disediakan materi husus Menjadi Indonesia dalam kurikulum pendidikan formal kita, seperti materi Wawasan Nusantara dulu, atau muatan moralnya melalui PMP (pendidikan Moral Panca Sila), namun ; lbih diintegrasikan dalam proses pembelajaran sebagai upaya pembudayaan langsung pembentukan karakter bangsa yang toleran. 

Bijak dan santun.  Penekanan pada karakter Nusantara yang demikian dilandasi oleh kenyataan munculnya berbagai tragedy bangsa yang diakhibatkan oleh tidak diterapkannya karakter unggul bangsa Indonesia akhibat pendidikan cenderung menyeret pada euphoria kebebasan berpendapat dan bersikap yang tidak sepenuhnya sejalan dengan pesan-pesan luhur para pendiri bangsa bahkan dari fenomena yang Nampak pada outcome pendidikan kita yang justru lebih "liberal" dari mereka yang hidup di Negara liberal." 

Terkait dengan pembentukan karakter bangsa dengan pembudayaan melalui interaksi pembelajaran antara murid-dengan murid, murid dengan guru, bahkan antara guru dengan guru melalui tulisan ini kami paparkan konsep Pembelajaran Berkarakter Nusantara, dengan tujuh pilarnya yakni ; Proaktif, Antuasias, Saintifik, Toleran, Inspiratif, Bijak dan Santun yang diakronimkan menjadi Pembelajaran PASTI BISA. Karena karakter memang harus ditanamkan day by day secara terus menerus, maka model pendekatan Pembelajaran Pasti bisa ini harus diterapkan sejak pendidikan dini. 

Dengan mengutup   lagu Murid Budiman yang  seakan merupakan salah satu "lagu wajib" untuk dinyanyikan siswa TK  hingga SD di masa lalu, penulis mencoba memaparkan perubahan paradigma pendidikan kita melalui tulisan berjudul "Pendidikan Keluarga, Modal Utama Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional" (Kompasiana, 24 Mei 2016).  Berikut sedikit cuplikan  liriknya untuk kita camkan :

Murid : Oh Ibu dan Ayah selamat pagi, ku pergi belajar sampai kan nanti

Ibu     : Selamat belajar nen penuh semangat. rajinlah selalu  tentu kau dapat

             Hormati gurumu sayangi teman, itulah tandanya kau murid budiman

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline