Lihat ke Halaman Asli

Urban Farming as Edufarming di Jakarta

Diperbarui: 24 Januari 2018   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat lagu anak-anak "pepaya mangga pisang jambu ?" Untuk menyegarkan kita, berikut penulis sampaikan satu bait pertama lagu anak-anak tersebut :
"Pepaya mangga Pisang Jambu
Dibawa dari Pasar Minggu
Disana banyak penjualnya
Di Kota banyak pembelinya"

Dari bait awal itu jelas nampak, meski mengungkapkan masalah buah-buahan namun terkandung makna mobilitas ekonomi. Anak-anak diperkenalkan dengan dua konsep ekonomi, yakni Pasar Minggu (Jakarta Selatan) sebagai wilayah produsen, dan Kota (Jakarta Utara) sebagai wilayah konsumen. Dalam penilaian penulis, lagu tersebut secara keseluruhan sarat dengan nilai pendidikan. Nilai pendidikan itulah yang, diharapkan oleh Gubernur Anies Baswedan dapat diambil dari adanya urban farming di wilayah DKI Jakarta. Hal itu berhubungan dengan penen padi di Cakung dan buah naga yang dilakukan oleh Gubernur Anies Baswedan hari-hari ini. 

Menurut FAO, Urban Farming didefinisikan sebagai Sebuah industri yang memproduksi, memproses, dan memasarkan produk dan bahan bakar nabati, terutama dalam menanggapi permintaan harian konsumen di dalam perkotaan, yang menerapkan metode produksi intensif, memanfaatkan dan mendaur ulang sumber daya dan limbah perkotaan untuk menghasilkan beragam tanaman dan hewan ternak. Atau menurut ta'rif lain bahwa urban farming adalah praktik budidaya, pemrosesan, dan disribusi bahan pangan di atau sekitar kota. Pertanian urban juga bisa melibatkan peternakan, budidaya perairan, wanatani, dan hortikultura. Dalam arti luas, pertanian urban mendeskripsikan seluruh sistem produksi pangan yang terjadi di perkotaan.

Sementara itu, dalam penerapan urban farmin Council on Agriculture, Science and Technology, (CAST) mendefinisikan Urban farmin yang mencakup aspek kesehatan lingkungan, remediasi, dan rekreasi. Kebijakan di berbagai kota juga memasukkan aspek keindahan kota dan kelayakan penggunaan tata ruang yang berkelanjutan dalam menerapkan pertanian urban. Dengan masuknya aspek keindahan dan kelayakan penggunaan tata ruang perkotaan, maka pengelolaan urban farming benar-benar harus terkait dengan penataan kota dan tidak asal menanam sesuatu di setiap lahan yang dapat dimanfaatkan. Dengan demikian selain aspek produksi pertanian, aspek ekologis dan aspek estetika juga perlu diperhatikan.

Pelaksanaan urban farmin di Jakarta tentu harus mwlibatkan pihak-pihak yang lebih luas, jika Urban farmin tersebut akan memiliki makna atau memiliki nilai pendidikan, yang penulis sebut sebagai Edufarming. Urban farming as edufarming selain harus memperhatikan aspek produksi (budi daya), Ekologis dan estetis, juga harus dapat menjawab kebutuhan pendidikan dalam semua aspeknya. Secara umum, urban farming di Jakarta akan lebih bermakna bagi dunia pendidikan Jakarta, sekiranya urban farming tersebut dapat mensubtitusi kebutuhan lahan (utamanya green hosue) yang dipergunakan dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan formal. Hal ini mengingat realitas sekolah di Jakarta banyak yang tidak memiliki green house sebagai sarana pembelajaran IPA Biologi. 

Sementara itu, untuk mewujudkan penggunaan tata ruang yang berkelanjutan, bisa saja urban farming di Jakarta dalam pelaksanaannya, melanjutkan jejak "legenda" pertanian Jakarta yang dapat ditelusuri dari nama-nama daerah di Jakarta yang menggunakan kosa flora atau fauna. Sebagai contoh, Cempaka Putih, Pondong Pinang, Pondok Labu, Kampung Rambutan, Salak Condet, Gandaria, kampung dukuh dsb. Dengan penerapan urban farming yang demikian, pada ahirnya Jakarta dapat menjadi kota Agrowisata dimana wisata tani itu tersebar di seluruh wilayah jakarta. 

Hal lain dari penataan yang demikian adalah kembalinya Jakarta sebagai ibu kota negara agraris, dengan mega biodiversitasnya. Dengan kebijakan "biogografi" yang memperhatikan jejak legenda, kan memudahkan juga generasi muda Jakarta mengenal flora dan fauna yang ada, hal ini perlu diperhatikan mengingat berdasar pengalaman penulis sebagai guru biologi berinteraksi dengan peserta didik dalam pembelajaran keaanekaragaman hayati, menunjukan bahwa peserta didik kurang mengenal nama flora fauna yang ada, meskipun terdapat di halaman rumah atau sekolah. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline