Lihat ke Halaman Asli

Darul Azis

Wirausahawan

Berterima Kasih, Sebuah Terapi Rendah Hati

Diperbarui: 19 April 2017   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

caption caption="Ilustrasi via http://www.drone-maniac.com/news-drone-maniac-more-and-more-popular/thank-you/

Di depan meja kasir, aku mengingat-ingat kembali apa yang tadi telah aku makan. Untuk memastikan agar tidak ada makanan yang terlewat untuk disebutkan, aku mengarahkan kembali pandanganku pada etalase warung.

"Nasi hati rempela, tempe, dan air putih Bu," satu per satu makanan yang telah kuambil kusebutkan secara perlahan, mengimbangi gerakan tangan wanita setengah umur itu memencet-mencet kalkulator.

"Sepuluh ribu Mas." Jawabnya kemudian.

"Pas ya Bu." Kataku sambil menaruh uang sepuluh ribuan di meja. Tepat di depannya.

"Iya Mas. Makasih." Katanya sambil melemparkan senyum padaku. Senyum yang, kuakui, sama sekali tidak dipaksakan.

Selesai membayar aku langsung pergi meninggalkan warung makan tersebut. Seorang kolega pentingku sudah menunggu di suatu tempat dan karena itu aku tidak boleh terlambat.

Namun kemudian, seorang temanku, yang baru kusadari keberadaannya setelah helmnya terantuk di helmku, mengusikku dengan sebuah pertanyaan.

"Mengapa kamu tidak mengucapkan terima kasih pada Ibu penjaga warung tadi?" Tanyanya ketika kami mulai meninggalkan warung makan itu.

"Memangnya aku harus mengucapkannya?" Aku balik bertanya dan terus melajukan kendaraan.

"Aku bertanya mengapa, coba kamu jawab dulu!" Ia menghardikku.

"Aku tidak merasa harus mengucapkannya." Aku menjawabnya dengan tegas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline