Lihat ke Halaman Asli

Aroma

Diperbarui: 25 Juni 2019   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

yang datang, di antara angin. Menyusup dari balik dinding. Datanglah diam-diam, sebelum hujan turun. Ribut angin. Suara kita bercampur dengan derit ranting patah. Diam-diam kita pun saling bicara dengan kata yang paling degup---oh, kukirim wangi cengkeh di antara manis tidurmu. "Pulanglah!" Sebentar lagi hujan dan aku tak ingin melihatmu menangis di bawah gerimis.

Selalu kauhempaskan masalalu di dadaku, tapi tak kunjung pecah berkeping. Sedang dada kiriku terus berdegup. Aku takut kemarau menghalau nyaring bunyi daunmu.

Seperti derai daun cengkeh pagi itu dan kita sama-sama masih berpagut gig. Aku pun jadi candu di dalam rasa yang begitu manis. Namun, lagi-lagi, kautawari silau kaca di antara hiruk-pikuk pasar. Memaksa untuk tawar-menawar harga. Aku hanya ingin di sini, termangu, menghirup wangi cengkeh, hingga sampai pagi berikutnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline